Repelita, Jakarta - Isu keaslian dokumen akademik Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan publik setelah unggahan dari Rismon Hasiholan Sianipar, seorang ahli forensik digital yang juga mantan dosen Universitas Mataram.
Lewat akun X (sebelumnya Twitter), Rismon menyoroti perbedaan mencolok pada skripsi milik Jokowi jika dibandingkan dengan skripsi rekan-rekan seangkatannya di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1980-an.
Dalam unggahan tersebut, Rismon membagikan beberapa foto skripsi mahasiswa lulusan tahun 1985 seperti Sri Dominingsih, Sigit Hardwinarto, dan Edy Triyanto.
"Bu rektor UGM, apakah Anda sudah pulang dari Jakarta?" tulisnya melalui akun @SianiparRismon, dikutip pada Sabtu, 19 April 2025.
Ia menyoroti perbedaan pada aspek-aspek penting dalam skripsi Jokowi yang disebutnya sebagai "anomali" jika merujuk pada standar akademik yang umum berlaku di kampus tersebut.
Salah satu perbedaan paling mencolok terlihat pada sampul dan format penulisan skripsi.
Skripsi Jokowi tercantum sebagai "skripsi" di halaman pengesahan, sedangkan pada skripsi teman-temannya tertulis "tesis" sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.
Istilah "tesis" umumnya digunakan untuk jenjang S2, sedangkan "skripsi" lazim digunakan untuk jenjang S1. Namun, dalam kasus ini, seharusnya ada konsistensi penggunaan istilah dalam satu angkatan.
Selain perbedaan istilah, nama dosen pembimbing juga menjadi sorotan.
Jokowi disebut dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Achmad Soemitro, seorang profesor, sementara mahasiswa lain dalam angkatan yang sama rata-rata dibimbing oleh dosen bergelar S1 atau S2.
"Horas, Bang Rismon menurut saya apa lazim mahasiswa calon S1 pembimbing skripsinya profesor. Biasanya S1 pembimbingnya setingkat S2, klo S2 pembimbing tesisnya S3, kalo S3 disertasi baru Profesor doktor. Sepintar-pintarnyanya calon S1 gak mungkin pembimbingnya profesor doktor," komentar salah satu warganet lewat akun @Rah***.
Bagian lain yang juga disoroti adalah kolom tanda tangan dewan penguji dalam skripsi Jokowi. Tidak seperti skripsi milik mahasiswa lain yang mencantumkan nama lengkap dan tanda tangan para penguji secara jelas, skripsi Jokowi dinilai tidak mencantumkan informasi tersebut dengan lengkap.
Contohnya, skripsi milik Lembah Ediyanto dan Edy Triyanto mencantumkan seluruh nama penguji serta tanda tangan mereka secara rapi dan formal.
Sementara itu, skripsi Jokowi hanya mencantumkan tanda tangan tanpa keterangan nama yang lengkap, yang dinilai tidak lazim untuk dokumen akademik resmi.
Di tengah kontroversi ini, UGM dinilai belum memberikan respons yang tegas dan transparan.
Meski sempat mengadakan pertemuan dengan kuasa hukum Presiden Jokowi pada 15 April 2025, video hasil pertemuan tersebut belum juga dirilis secara utuh ke publik, padahal sebelumnya dijanjikan akan dipublikasikan tanpa proses editing.
“Video pertemuan tanggal 15 April 2025 yang dijanjikan oleh para wakil rektor akan dipublish utuh tanpa diedit!” tulis Rismon dalam unggahannya yang dikutip pada Sabtu, 19 April 2025.
Ketidakhadiran video tersebut hingga saat ini memperkuat dugaan bahwa pihak kampus tidak sepenuhnya transparan dalam menangani isu yang melibatkan dokumen akademik Presiden. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok