Repelita, Jakarta - Politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean, kembali menanggapi polemik soal keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo.
Hal ini tidak lepas setelah beredarnya foto lawas saat Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Dalam foto kunjungan ke PT Sritex Sukoharjo bertanggal 20 September 2006, tertulis nama “Drs. Jokowi Widodo”, yang berbeda dengan gelar “Ir.” yang selama ini disandang Jokowi saat mengikuti kontestasi pemilihan presiden.
"Soal bukti-bukti foto yang pernah menulis Jokowi bergelar Drs, kemudian jadi Ir itu kan dokumen tidak resmi dari negara. Mungkin saja ada salah pengetikan dari pihak yang mencetak," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Kamis (17/4/2025).
Namun demikian, Ferdinand menilai polemik ini makin runyam dan tak kunjung menemukan kejelasan karena tidak dibawa ke jalur hukum.
"Bagi saya sekarang persoalan ijazah Pak Jokowi ini sudah menjadi semakin runyam," ucapnya.
Ia justru menilai Jokowi tengah memanfaatkan momen ini untuk tetap berada di sorotan publik.
"Saya melihat Pak Jokowi memanfaatkan situasi ini untuk tetap dirinya ada di dalam framing media. Selalu muncul ke permukaan," sebutnya.
Ferdinand juga menilai upaya untuk mengungkap keaslian ijazah seharusnya tak lagi hanya melalui perdebatan publik atau media sosial, tapi melalui jalur resmi.
"Para penggugat ijazah palsu Jokowi sebaiknya menempuh jalur hukum saja. Karena ini tidak akan pernah bersih, selesai persoalan ini karena menggugat dengan lisan saja. Harus masuk ke jalur hukum," Ferdinand menuturkan.
Kata Ferdinand, jika saat ini dibuktikan dengan foto atau hanya sekadar ditunjukkan dari jarak satu atau dua meter, menurutnya tidak ada yang bisa menyimpulkan keasliannya.
"Sama ketika saya memegang selembar uang, saya foto, saya bilang asli, siapa yang bisa menjamin itu asli, bisa saja uang palsu," imbuhnya.
Ia pun menyarankan agar pembuktian dilakukan lewat uji forensik untuk memastikan keaslian dokumen.
"Digugat saja keaslian ijazahnya nanti biar di pengadilan dibuktikan. Kalau sekarang, keaslian itu harus dibuktikan dengan uji forensik," tukasnya.
"Benarkah itu ijazah dikeluarkan tahun 1985, mungkin dilakukan uji karbon dan lain-lain," sambung dia.
Blak-blakan, Ferdinand mengatakan bahwa publik tidak bisa mengharapkan kenegarawanan Jokowi untuk membuktikan keaslian ijazahnya.
"Bahkan Jokowi terus bermain ramah di tengah polemik ini. Sepertinya dia memanfaatkan betul suasana ini untuk terus seolah dia pihak yang terzalimi, untuk menaikkan terus derajatnya di kancah politik nasional," tandasnya.
Agar modus tersebut tidak lagi digunakan Jokowi, Ferdinand mendorong agar para penggugat untuk membawanya ke ranah hukum secara resmi.
"Saya melihat ada pemanfaatan situasi yang dilakukan Jokowi dari semua ini. Maka, saran saya bagi para penggugat, silakan ajukan gugatan secara resmi ke pengadilan," terangnya.
"Publik punya legal standing untuk itu karena Jokowi pernah menjabat sebagai Presiden, Gubernur, dan Walikota. Itu adalah landasan pijakan masyarakat," kuncinya.
Sebelumnya, Prof Mahfud mengatakan, meskipun nantinya terbukti bahwa ijazah Jokowi palsu, semua keputusan yang diambil selama menjabat sebagai Presiden RI tetap sah secara hukum.
"Yang lebih gila lagi kan katanya, ini kalau terbukti ijazah Jokowi ini palsu, seluruh keputusannya selama menjadi presiden batal, itu salah," kata Mahfud.
Ia menjelaskan bahwa dalam hukum administrasi negara, terdapat asas kepastian hukum yang memastikan bahwa keputusan yang telah dikeluarkan secara sah tidak bisa dibatalkan begitu saja.
"Asas kepastian hukum itu keputusan yang sudah (mengikat). Nanti ada perhitungan ganti rugi. Bukan ke orang yang misalnya ya Pak Jokowi terbukti ijazahnya tidak sah," sebutnya.
"Lalu kontrak-kontrak dengan luar negeri, dengan perusahaan-perusahaan apa itu dan sebagainya itu batal, tidak bisa. Bisa dituntut kita secara internasional," sambung dia.
Mahfud menambahkan bahwa memang, jika terbukti menggunakan ijazah palsu, Jokowi bisa dinyatakan tidak memenuhi syarat administratif saat pencalonan presiden.
Namun, itu tidak berarti segala kebijakan yang telah diambil menjadi otomatis tidak sah.
Sebagai perbandingan, Mahfud menyinggung langkah Presiden Soekarno yang melawan konstitusi Belanda demi merebut kemerdekaan Indonesia.
Mahfud bilang, langkah itu secara hukum internasional saat itu melanggar konstitusi, namun tetap mendapat legitimasi karena didukung oleh rakyat.
"Tapi, Bung Karno lawan konstitusi itu. Satu, Bung Karno mengeluarkan dekrit itu melanggar konstitusi. Tapi, Bung Karno pada waktu itu mendapat dukungan bahwa saya didukung rakyat," pungkas Mahfud. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok