Repelita Jakarta - Penempatan personel TNI aktif di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai sebagai pintu masuk kembalinya dwifungsi militer. Hal ini memicu penolakan dari masyarakat, yang diwujudkan dalam petisi daring yang telah ditandatangani oleh lebih dari 13 ribu orang.
Petisi yang diunggah melalui situs change.org dengan judul "Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI" digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah tokoh dan aktivis. Hingga Selasa (18/3/2025) pukul 09.30 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 13.243 orang.
Sejumlah tokoh dan aktivis yang mendukung petisi ini antara lain Nursyahbani Katjasungkana, Usman Hamid, Pdt. Ronald Richard Tapilatu, Rafendi Djamin, Al A'raf, Pdt. Penrad Siagian, dan KH Rakhmad Zailani Kiki.
Petisi tersebut menyoroti bahwa penempatan personel militer aktif pada jabatan-jabatan sipil, seperti di Kejagung dan KKP, dinilai tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI. Koalisi Masyarakat Sipil menilai hal ini sebagai upaya mengembalikan dwifungsi TNI, yang berisiko memunculkan masalah seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, dominasi militer di ranah sipil, serta kebijakan dan loyalitas ganda.
TNI dianggap sebagai alat pertahanan negara untuk memerangi musuh dari negara lain, sementara Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegak hukum nasional. Penempatan prajurit TNI aktif di Kejagung dianggap tidak tepat. Demikian juga dengan penempatan militer aktif di KKP dinilai sebagai kekeliruan dan cerminan dwifungsi TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatirkan bahwa RUU TNI akan melemahkan profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara. Mereka menilai bahwa seharusnya DPR dan pemerintah lebih mendorong agenda reformasi peradilan militer.
Koalisi menegaskan bahwa revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer lebih penting untuk dibahas ketimbang RUU TNI.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok