Repelita Surakarta - Pernyataan mengejutkan datang dari putra mahkota Kasunanan Surakarta yang mengungkapkan penyesalannya atas keputusan kerajaan untuk bergabung dengan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan. Pernyataan ini memicu berbagai tanggapan, termasuk dari pengamat politik Rocky Gerung.
Rocky Gerung menyatakan bahwa pernyataan putra mahkota tersebut harus dilihat dalam konteks sejarah dan refleksi yang lebih dalam. “Kalimat menyesal bergabung dengan Republik itu, menurut saya, harus dilihat dalam konteks sejarah dan refleksi yang lebih dalam,” kata Gerung. Ia menambahkan, pernyataan ini bukan semata-mata bentuk ketidaksetujuan terhadap Republik, melainkan simbol ketidakpuasan terhadap kondisi politik dan sosial yang ada saat ini.
Menurut Gerung, pernyataan putra mahkota menunjukkan adanya refleksi batin dari Keraton Surakarta terhadap kondisi Indonesia sekarang ini. “Ketika seseorang dari kalangan kerajaan menyampaikan penyesalan semacam ini, ini bukan hanya soal politik. Ini juga tentang rasa kekecewaan terhadap sistem pemerintahan yang jauh dari semangat awal kemerdekaan,” tambahnya.
Gerung juga menyoroti bahwa penyesalan tersebut bisa dilihat sebagai kritik terhadap oligarki yang semakin kuat dalam pemerintahan. “Kalimat tersebut juga bisa dipahami sebagai kritik terhadap pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok, yang memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi atau golongan,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa kritik ini harus dipahami sebagai evaluasi bagi pemerintahan yang harus lebih peka terhadap aspirasi rakyat. “Pernyataan ini adalah peringatan bahwa ada yang salah dalam tatanan negara kita. Ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk melihat dan menanggapi suara-suara kritis dari masyarakat,” ujar Gerung.
Rocky Gerung menekankan, kritik tersebut menunjukkan adanya jurang ketidakpuasan di kalangan masyarakat terhadap berbagai isu yang tak kunjung terselesaikan, seperti korupsi, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan. “Ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan introspeksi dan memperbaiki kekurangan yang ada dalam sistem yang ada,” tambahnya.
Sebagai simbol dari kebudayaan Jawa, putra mahkota Kasunanan Surakarta tidak hanya berperan sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai refleksi terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia. “Dia adalah bagian dari anak muda Indonesia yang masih melihat dengan tajam kondisi bangsa ini, dan itu harus dihargai. Jangan sampai suara-suara kritis dari generasi muda diabaikan,” tegas Gerung. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok