Repelita Jakarta - Dugaan korupsi di lingkungan PT Pertamina yang menyeret sembilan tersangka menjadi perhatian luas. Kasus ini diduga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp1 kuadriliun dan terjadi dalam rentang waktu 2018-2023.
Seiring dengan perkembangan penyelidikan oleh Kejaksaan Agung, sejumlah pihak menyeret nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, ke dalam pusaran kasus tersebut. Namun, Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar, Nurul Arifin, membantah tuduhan tersebut.
“Narasi yang menyebut Pak Bahlil terlibat dalam kasus korupsi di Pertamina merupakan fitnah. Pak Bahlil baru menjabat sebagai Menteri ESDM pada Agustus 2024, sedangkan kasus ini terjadi pada 2018-2023,” ujar Nurul.
Nurul menegaskan bahwa Bahlil tidak memiliki keterlibatan dalam kebijakan yang diambil pada periode tersebut. Justru, menurutnya, di bawah kepemimpinan Bahlil, Kementerian ESDM telah melakukan berbagai langkah perbaikan, termasuk mewajibkan produksi minyak mentah dalam negeri diolah di fasilitas pengolahan atau kilang dalam negeri serta melarang ekspor minyak mentah.
“Kementerian ESDM di bawah Pak Bahlil tengah melakukan pembenahan tata kelola minyak mentah, termasuk mempercepat izin impor BBM menjadi enam bulan dari sebelumnya satu tahun agar evaluasi dapat dilakukan lebih cepat,” jelasnya.
Ia berharap agar publik lebih kritis dalam menilai kasus ini dan tidak terjebak pada tudingan yang tidak berdasar.
“Ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Pihak yang benar-benar bertanggung jawab harus dihukum, dan Pertamina harus berbenah agar lebih baik ke depan,” katanya.
Sementara itu, pengamat komunikasi dari London School of Public Relations (LSPR), Ari Junaedi, menilai bahwa tidak tepat jika Bahlil menjadi sasaran kemarahan publik atas kasus ini. Menurutnya, kasus korupsi di Pertamina terjadi sebelum Bahlil menjabat sebagai Menteri ESDM.
“Tuduhan terhadap Pak Bahlil dalam skandal ini salah alamat. Fakta menunjukkan bahwa beliau baru menjabat pada Agustus 2024, sedangkan korupsi terjadi dalam periode 2018-2023,” kata Ari.
Ari yang juga Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama menilai bahwa isu ini sarat dengan kepentingan politik, terutama karena Bahlil juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
“Isu reshuffle dan korupsi di Pertamina ini kental dengan agenda politik yang ingin menggoyang posisi Pak Bahlil di Golkar. Publik harus lebih cerdas dalam memilah informasi karena politik selalu penuh dengan intrik,” tegasnya.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok