Repelita Jakarta - Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menegaskan bahwa presiden tidak bisa semena-mena memecat kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Ia menegaskan bahwa kepala daerah hanya dapat diberhentikan jika pemerintah menerapkan sistem berdasarkan penunjukan atau appointee oleh presiden.
“Saya kira pernyataan Menteri Dalam Negeri itu keliru ya. Bahwa proses keterpilihan kepala daerah itu melalui pemilihan kepala daerah. Jadi basis legitimasinya dari masyarakat. Jadi, enggak bisa lagi kemudian presiden secara semena-mena memberhentikan kepala daerah,” kata Herdiansyah saat dihubungi.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperingatkan para kepala daerah bahwa mereka tetap dapat diberhentikan meskipun dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini disampaikan Tito dalam acara retret kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah.
Menanggapi pernyataan tersebut, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menjelaskan bahwa pemberhentian kepala daerah tetap harus melalui mekanisme yang diatur dalam undang-undang. “Jadi, bukan berarti dipilih langsung tidak bisa berhenti," ujarnya.
Bima menyebutkan bahwa ada beberapa indikasi yang dapat menyebabkan kepala daerah diberhentikan, seperti tidak melaksanakan program prioritas nasional, bepergian ke luar negeri tanpa izin, serta terlibat dalam perbuatan tercela.
Herdiansyah menjelaskan bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tiga kondisi pemberhentian kepala daerah, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Pemberhentian pun harus memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak dapat menjalankan tugas selama enam bulan, terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme, atau melakukan perjalanan luar negeri tanpa izin dari menteri.
“Karena diberhentikan pun itu bukan karena persoalan otoritas presiden. Jadi, enggak bisa dipahami bahwa pemberhentian kepala daerah itu otoritas presiden itu enggak ada sama sekali,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa larangan perjalanan ke luar negeri merupakan ketentuan prosedural dan bukan bagian dari otoritas presiden. “Pemberhentian kepala daerah itu mekanismenya diusulkan oleh DPRD ke presiden setelah ada keputusan Mahkamah Agung. Jadi, keliru pernyataan Mendagri bahwa seolah-olah presiden yang punya otoritas itu,” tambahnya.
Terkait program strategis nasional, Herdiansyah menyebut bahwa kepala daerah hanya wajib mematuhi program strategis yang telah diatur oleh undang-undang, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“Itu mesti ditaati baik pusat maupun daerah karena sudah menjadi program bersama secara nasional yang ditetapkan melalui undang-undang,” ujarnya.
Sementara itu, dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menjelaskan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Daerah memang mengatur mekanisme pemberhentian kepala daerah, termasuk apabila mereka tidak menjalankan program strategis nasional atau bepergian ke luar negeri tanpa izin.
Yance menyebut bahwa ketentuan mengenai tidak menjalankan program strategis nasional diatur dalam Pasal 67 dan 68 UU Nomor 23 Tahun 2014, sementara aturan tentang perjalanan ke luar negeri tanpa izin tercantum dalam Pasal 77 ayat (2) dalam beleid yang sama.
“Terhadap pelanggaran tersebut dilakukan pemberhentian sementara selama tiga bulan oleh presiden untuk gubernur, lalu oleh menteri untuk bupati dan wali kota,” kata Yance.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok