Repelita Jakarta - Pertemuan Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan delapan konglomerat pada 6 Maret 2025 menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Pengamat politik M Rizal Fadillah menilai langkah Prabowo ini menyakiti hati rakyat, mengingat banyak elemen masyarakat yang selama ini ingin bertemu dengannya tetapi tidak mendapatkan kesempatan.
Kedelapan konglomerat yang hadir dalam pertemuan itu adalah Aguan, Tommy Winata, James Riady, Prayogo Pangestu, Anthony Salim, Boy Thohir, Dato Sri Tahir, dan Franky Wijaya. Menurut Rizal Fadillah, pertemuan ini menunjukkan bahwa Prabowo lebih memilih membangun hubungan dengan elite pemilik modal dibanding mendengarkan aspirasi rakyat yang telah mendukungnya dalam Pilpres 2024.
"Prabowo adalah figur yang sulit ditemui rakyatnya. Terkesan sombong dan elitis. Dia hanya mahir berbicara soal kerakyatan dan pemerintahan bersih, tapi tidak ada realisasi nyata," ujar Rizal Fadillah.
Rakyat ingin menyampaikan berbagai isu penting seperti hubungan Prabowo dengan Jokowi, peran Wakil Presiden yang dinilai kontroversial, proyek IKN, kebijakan PSN, hingga penegakan hukum. Namun, aspirasi tersebut tidak pernah mendapatkan tanggapan.
Di sisi lain, konglomerat yang kini dekat dengan Prabowo justru banyak dikritik karena peran mereka dalam dominasi ekonomi nasional. Mereka dianggap bertindak sewenang-wenang, menggusur lahan masyarakat, mematikan usaha kecil, dan menekan buruh dengan upah rendah. Namun, Prabowo justru memperlihatkan keberpihakan kepada mereka dengan menerima mereka secara terbuka.
"Justru di tengah keluhan rakyat, Prabowo dengan bangga menerima para penjajah ekonomi ini. Ini bukti nyata bahwa kepemimpinannya sangat oligarkis," tegas Rizal Fadillah.
Menurutnya, Prabowo bukanlah sosok pemimpin yang layak dibantu rakyat karena lebih mengutamakan konglomerat. "Rezim Prabowo tidak ada bedanya dengan Jokowi, yang berorientasi pada bisnis, investasi, dan modal asing. Pemilik modal adalah tempat bergantung, dan ujungnya Prabowo akan dikendalikan mereka," tambahnya.
Rizal Fadillah juga menyoroti kebijakan Prabowo yang dinilai tidak realistis, seperti program makan siang gratis dan pembentukan holding pertahanan Danantara. Menurutnya, kedua kebijakan ini hanya akan membuka ruang korupsi dan memperburuk kondisi keuangan negara.
"Prabowo memang gemar menyakiti. Menyakiti keluarga hingga harus pergi, menyakiti TNI hingga diberhentikan, menyakiti pendukungnya untuk dijadikan menteri, menyakiti umat hingga HRS dihakimi, dan kini menyakiti rakyat dengan bergantung pada konglomerat," sindirnya.
Rizal Fadillah menegaskan bahwa rakyat harus menentukan jalannya sendiri, termasuk menegakkan kedaulatan hukum agar pemerintahan tidak semakin dikuasai oligarki. "Kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, negara ini hanya akan menjadi alat kepentingan segelintir elite pemilik modal," pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok