Repelita Jakarta - Pegiat media sosial Yusuf Dumdum menanggapi pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani terkait polemik RUU TNI. Yusuf menilai sikap Puan masuk akal mengingat PDIP tidak memiliki kekuatan dominan dalam pembahasan regulasi tersebut.
"Mba Puan Maharani akhirnya turun tangan di saat serangan ke PDIP gencar dilakukan oleh para ternakan," ujar Yusuf di akun X @yusuf_dumdum.
Ia menjelaskan bahwa meskipun PDIP menolak atau melakukan walkout dari pembahasan RUU TNI, langkah itu tetap tidak akan berpengaruh signifikan. Menurutnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) beserta pendukungnya menguasai lebih dari 80 persen suara di parlemen.
"Masuk akal juga sih apa yang disampaikan Mba Puan. Misal PDIP walkout atau menolak juga percuma, karena suaranya kecil. Sementara KIM plus menguasai lebih dari 80 persen suara," lanjutnya.
Namun, Yusuf merasa heran mengapa PDIP tetap menjadi sasaran kritik dalam polemik ini. Ia juga menyinggung pihak-pihak yang menyerang PDIP dengan dalih menentang kemunafikan.
Kata Yusuf, lebih baik PDIP tetap berada dalam proses pembahasan RUU TNI guna mengawal serta mengawasi kemungkinan munculnya pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat reformasi.
"Bayangkan kalau PDIP walkout, bukankah itu makin berbahaya karena tak ada yang mengawal?" tambahnya.
Meskipun demikian, ia tetap menyoroti penyelenggaraan rapat RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah. Yusuf menegaskan bahwa selain isi materi regulasi, mekanisme pembahasannya juga perlu mendapat kritik keras dari publik.
"Tapi terlepas cara rapatnya yang tertutup dan di hotel mewah, memang ini harus dikritik keras sih selain juga isi materi dari RUU TNI," kuncinya.
Sebelumnya, Komisi I DPR RI bersama pemerintah menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) untuk membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) di Hotel Fairmont Jakarta.
Keputusan ini menimbulkan kontroversi karena dilakukan di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang sedang diberlakukan.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menjelaskan bahwa aturan DPR memungkinkan rapat legislatif berlangsung di luar Kompleks Parlemen Senayan, asalkan mendapatkan izin dari pimpinan DPR.
Ia juga menyebut bahwa Hotel Fairmont dipilih karena adanya kerja sama yang memberikan potongan harga bagi DPR. Selain itu, Indra mengungkapkan bahwa intensitas pembahasan RUU TNI yang tinggi menjadi alasan utama perlunya tempat yang mendukung kelancaran diskusi.
Namun, publik mempertanyakan keputusan ini, mengingat tarif kamar di hotel bintang lima tersebut berkisar antara Rp2,6 juta hingga Rp4,6 juta per malam.
Menanggapi kritik soal penggunaan anggaran, Indra menekankan bahwa meskipun DPR juga terkena kebijakan efisiensi, masih ada dana cadangan yang bisa digunakan untuk pembahasan undang-undang yang dianggap strategis.
Dalam rapat tersebut, sejumlah pasal yang dinilai krusial ikut dibahas, termasuk aturan mengenai tugas pokok TNI, penempatan prajurit aktif di kementerian atau lembaga sipil, serta batas usia pensiun.
Keputusan ini terus menjadi sorotan, terutama dari kelompok masyarakat sipil yang khawatir revisi RUU TNI akan membuka ruang lebih besar bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok