Repelita Jakarta - Kebijakan pemerintah yang menunda pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2024 menuai protes dari para peserta seleksi. Keputusan ini memicu munculnya petisi daring yang menolak penundaan tersebut dan menuntut percepatan proses pengangkatan.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) mengumumkan bahwa pengangkatan CPNS baru akan dilakukan pada 1 Oktober 2025, sementara PPPK akan diangkat pada 1 Maret 2026. Akibatnya, banyak peserta seleksi yang telah mengundurkan diri dari pekerjaannya kini mengalami ketidakpastian karena kehilangan penghasilan tetap.
Menurut Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Harmoyo Dwi Putranto, kebijakan ini bertujuan untuk menyeragamkan waktu terhitung mulai tanggal (TMT) bagi CPNS dan PPPK di seluruh instansi pemerintah. Ia menjelaskan bahwa selama ini terdapat ketidaksesuaian waktu pengangkatan antara satu instansi dengan instansi lainnya.
"Ada instansi yang cepat memproses usulan sehingga pegawainya bisa mulai bekerja lebih awal, sementara yang lain masih menunggu penetapan Surat Keputusan (SK)," ujar Harmoyo. "Dengan kebijakan ini, pengangkatan CPNS dan PPPK akan dilakukan serentak."
Keputusan pemerintah ini menimbulkan kekecewaan di kalangan peserta seleksi yang telah dinyatakan lulus. Sebagai bentuk protes, mereka meluncurkan petisi berjudul "BERIKAN PERCEPATAN PENGANGKATAN CPNS & PPPK TAHAP 1 2024" yang kini viral di media sosial. Hingga Sabtu, 8 Maret 2025, petisi ini telah mengumpulkan lebih dari 55.112 tanda tangan, dengan target berikutnya mencapai 75.000 tanda tangan.
Petisi ini ditujukan kepada Komisi II DPR RI, Kementerian PANRB, BKN, serta instansi terkait, dengan tuntutan utama agar pemerintah segera mempercepat proses pengangkatan setelah pengusulan dan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) atau Nomor Induk (NI) PPPK selesai.
Dalam petisi yang beredar, terdapat beberapa poin tuntutan yang diajukan, antara lain menjamin kepastian hukum dan status kepegawaian bagi peserta seleksi yang telah lulus, menghindari kekosongan tenaga kerja di instansi pemerintah, serta memastikan hak-hak peserta lulus seleksi tetap terpenuhi.
Mereka juga menyoroti dampak ekonomi dan psikologis akibat kebijakan ini. Banyak peserta yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya kini mengalami pengangguran dan kehilangan penghasilan tetap. Situasi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga mempengaruhi kondisi psikologis mereka dan keluarganya.
Protes atas kebijakan ini terus berlanjut, dengan berbagai pihak yang mendesak pemerintah untuk meninjau ulang keputusan tersebut dan memberikan solusi bagi peserta seleksi yang terdampak. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok