Repelita Jakarta - Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Henri Subiakto, kembali memberikan pernyataan terkait dugaan mega korupsi di lingkungan Pertamina Patra Niaga. Ia menegaskan bahwa pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengenai terbatasnya wewenang Komisaris Utama (Komut) dalam mengontrol BUMN adalah hal yang benar.
"Saya juga pernah jadi Komut BUMN kecil selama 5 tahun, apa yang disampaikan Ahok benar. Komut itu kewenangannya terbatas, tidak bisa mengganti orang secara langsung," ujar Henri melalui akun X @henrysubiakto pada 2 Maret 2025.
Henri menjelaskan bahwa Direktur Utama (Dirut) dan jajaran direksi suatu BUMN berada di bawah wewenang Menteri BUMN, bukan Komisaris Utama. Seorang Komisaris Utama hanya bisa mengusulkan, merekomendasikan, dan memberikan catatan, namun keputusan tetap berada di tangan Menteri dan deputinya.
Ia juga menyoroti bahwa BUMN besar sering kali dipenuhi dengan permainan dan drama politik, mencerminkan kondisi politik negara yang sarat pencitraan untuk menutupi kebobrokan. "Yang harus bertanggung jawab itu di tingkat menteri dan presiden, bukan Komut. Walau Komut tetap harus dimintai keterangan. Bagus sekali Ahok punya catatan-catatan terkait penyimpangan yang ditemukan," tegas Henri.
Namun, Henri meragukan keberanian Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus ini hingga ke level atas. "Persoalannya, beranikah kejaksaan memeriksa level yang lebih tinggi? Ini sangat tergantung pada independensi Kejaksaan Agung dan kehendak Presiden," kata Henri.
Ia menambahkan bahwa proses hukum bisa saja terhenti jika Presiden tidak ingin membongkar kasus ini. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan dalam skandal korupsi ini.
Sebelumnya, pernyataan mantan Komisaris Utama Pertamina, Ahok, kembali menjadi sorotan publik. Dalam wawancaranya yang beredar luas di media sosial, Ahok mengungkap dugaan praktik korupsi di lingkungan Pertamina Patra Niaga. Juru bicara PDI Perjuangan, Guntur Romli, menyoroti pernyataan Ahok yang menyebutkan bahwa meskipun Jokowi telah membubarkan Petral karena dianggap sebagai sarang mafia migas, justru beberapa mantan pejabat Petral kini direkrut kembali ke Pertamina Patra Niaga.
"Salah satu poin penting yang dapat ditangkap dari cerita wawancara Ahok adalah, Jokowi bubarkan Petral karena dianggap sarang mafia migas, tapi orang-orang Petral direkrut masuk di Pertamina Patra Niaga," ujar Guntur Romli, mengutip pernyataan Ahok.
Guntur juga merespons klaim Ahok yang mengungkapkan bahwa selama menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, ia telah melaporkan berbagai dugaan korupsi kepada Menteri BUMN, termasuk soal pengadaan migas yang dianggap tidak transparan. "Ahok sudah lama curiga ini soal kickback. Jumlahnya bisa jutaan dolar per hari," kata Guntur.
Guntur mempertanyakan apakah keberadaan mantan pejabat Petral di Pertamina saat ini merupakan hal yang memang sengaja "dipelihara" oleh pihak tertentu. "Menteri BUMN gak mungkin gak tahu. Pak Menteri, silakan bantah pernyataan Ahok itu," tandasnya.
Oleh karena itu, Guntur mendorong agar persidangan kasus ini dilakukan secara terbuka untuk menghindari intervensi dari pihak-pihak berkepentingan. "Ahok mendesak persidangan kasus ini dibuat terbuka untuk publik. Biar jaksa-jaksa yang idealis di Kejagung tidak gampang ditelikung oleh syahwat kekuasaan," tegas Guntur.
Adapun Ahok menegaskan bahwa jika dirinya yang menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina, ia tidak akan ragu untuk memecat Riva Siahaan. Namun, karena posisinya hanya sebagai Komisaris Utama, kewenangan tersebut berada di tangan Direktur Utama Pertamina dan Menteri BUMN. "Yang berhak memecat Dirut Pertamina Patra Niaga, ya Dirut Pertamina dan Menteri BUMN. Komisaris Utama tidak bisa berbuat banyak," tegas Ahok.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok