Repelita Jakarta - Dalam acara diskusi "Rakyat Bersuara" yang disiarkan secara langsung dari Lantai 3 Gedung iNews Tower di Kebon Sirih, Selasa malam, Dr. KRMT Roy Suryo membawa wayang kulit berukuran mini yang disematkan di belakang punggungnya. Tindakan ini menarik perhatian banyak pihak yang mempertanyakan makna di balik keputusan tersebut.
Dalam rekaman yang tersedia di YouTube Official iNewsTV, Roy Suryo terlihat mengeluarkan dua wayang mini dari balik punggungnya pada menit ke-6 lebih 30 detik dalam segmen berdurasi 12 menit 57 detik. Ia menjelaskan bahwa peletakan wayang di belakang memiliki makna filosofis yang mendalam dalam budaya Jawa. Tradisi ini mencerminkan nilai adiluhung masyarakat Jawa yang menghormati kesantunan dan pengendalian diri.
Tema acara malam itu, yang dipandu oleh Aiman Witjaksono, berjudul "Cawe-cawe Kasus, Jokowi: Saya ada Batasnya!". Diskusi ini merujuk pada pernyataan mantan presiden ke-7, yang geram menanggapi tuduhan mengenai upaya intervensinya dalam keputusan politik PDIP. Dalam wawancara yang dilakukan di Solo, mantan presiden itu mengungkapkan kekesalannya dengan kalimat, "Saya itu sudah diam lho ya, Difitnah saya diam, Dicela saya diam, Dijelekkan saya diam, Dimaki-maki saya diam, Saya ngalah terus lho, Tapi ada batasnya ya...". Ekspresi wajahnya tampak kecut, menandakan ketidakpuasan terhadap situasi yang berkembang.
Roy Suryo menyoroti bahwa dalam budaya Jawa, pemilihan diksi bernada ancaman seperti itu tergolong tidak lazim. Masyarakat Jawa sejati lebih memilih bersikap diam, mengalah, atau bahkan merespons dengan senyuman. Filosofi ini juga tercermin dalam kebiasaan masyarakat Jawa dalam membawa keris. Senjata tradisional tersebut diselipkan di belakang pinggang, bukan di depan, sebagai simbol kerendahan hati, pengendalian diri, kepercayaan diri, serta penghormatan terhadap nilai-nilai kebijaksanaan.
Menurutnya, makna membawa wayang di belakang punggung saat diskusi mencerminkan filosofi yang sama. Ia mengaitkannya dengan kisah "Petruk Dadi Ratu", di mana seorang yang awalnya dianggap sederhana justru berubah menjadi pemimpin yang dzalim dan penuh kebohongan. Roy Suryo juga menyamakan fenomena ini dengan karakter "The Godfather", yang tetap ingin mengendalikan kekuasaan meski sudah tidak berkuasa.
Roy Suryo menyimpulkan bahwa ancaman yang disampaikan oleh mantan presiden seharusnya dipahami dari perspektif rakyat sebagai korban. Ia menekankan bahwa kesabaran masyarakat pun ada batasnya dan menyerukan agar tindakan yang diperlukan segera dilakukan terhadap mantan presiden tersebut.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok