Repelita Jakarta - Kasus penerbitan sertifikat tanah di atas laut di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 kembali menjadi sorotan. Advokat sekaligus Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR), Ahmad Khozinudin, menuding dua kementerian terkait memiliki kepentingan terselubung dalam mendukung oligarki.
Dua menteri yang ia kritik adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid. Menurutnya, kedua pejabat tersebut tidak benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, melainkan lebih condong mengamankan kepentingan para pengembang besar.
Khozinudin menilai DPR selama ini hanya mengandalkan informasi resmi dalam rapat dengar pendapat tanpa menggali fakta sebenarnya di lapangan. Salah satu contoh yang ia soroti adalah saat DPR mengapresiasi pemberian sanksi terhadap delapan pejabat yang terlibat dalam skandal ini. Namun, belakangan terungkap bahwa dua di antaranya sudah pensiun.
"Apa relevansinya memberi sanksi kalau mereka sudah pensiun? Berarti DPR juga dibohongi oleh menteri," ujarnya dalam pernyataan yang dikutip dari kanal YouTube Abraham Samad Speak Up.
Khozinudin juga mengkritik pernyataan Trenggono dan Nusron yang menyebut tanah bersertifikat di laut sebagai "tanah musnah." Menurutnya, istilah ini justru membenarkan bahwa lahan tersebut dulunya daratan yang terkena abrasi.
“Kalau disebut tanah musnah, berarti mereka mengakui bahwa dulunya itu daratan. Ini bisa menjadi legitimasi bagi pengembang, seperti anak usaha PT Agung Sedayu Group, untuk melakukan reklamasi atau rekonstruksi,” tegasnya.
Ia menilai pemerintah seolah bermain di dua sisi mengklaim menindak kasus ini tetapi tetap memberi ruang bagi kepentingan oligarki. Ketidakjelasan pemerintah dalam menangani sertifikat tanah di laut juga menjadi perhatian Khozinudin.
Awalnya, dari 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan di laut, hanya 50 yang dicabut. Namun, kemudian muncul klaim bahwa 191 sertifikat tetap sah karena masih berada dalam batas garis pantai.
"Seolah-olah, kalau berada di belakang garis pantai, itu dulu memang daratan sehingga tetap dipertahankan. Sementara yang di luar dianggap sebagai sertifikat bodong," jelasnya.
Belakangan, pemerintah justru membatalkan pencabutan 55 sertifikat lainnya sebelum akhirnya, di tengah tekanan publik, Nusron Wahid menyatakan bahwa semua sertifikat di laut akan dibatalkan.
"Kami tidak percaya sebelum ada bukti konkret. Ketika sertifikat-sertifikat itu benar-benar digunting, baru kita percaya," katanya.
Khozinudin juga membantah klaim bahwa tanah di kawasan ini hilang karena abrasi. Ia menyoroti fakta bahwa di muara Kali Cisadane justru terjadi sedimentasi yang memperluas daratan, bukan sebaliknya.
"Alih-alih berkurang, wilayah daratan di sana justru bertambah. Tidak ada yang namanya tanah musnah," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa konsep ini hanyalah dalih untuk memberi jalan bagi korporasi agar bisa mengklaim hak reklamasi berdasarkan Pasal 66 Ayat 3.
"Kalau kita percaya pada narasi tanah musnah, kita justru memberi mereka alasan untuk masuk dan menuntut hak reklamasi mereka," pungkasnya.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok