Repelita Jakarta - CEO Indonesia Airlines mengungkapkan kebingungannya terhadap kondisi maskapai di Indonesia yang mengalami kerugian dan bergantung pada subsidi pemerintah. Hal ini ia sampaikan setelah pengusaha asal Aceh, Iskandar Ismail, melakukan studi terhadap maskapai penerbangan dunia.
Pria asal Birem itu menyatakan bahwa di seluruh dunia, tidak ada maskapai besar yang mengalami kerugian, kecuali di Indonesia.
“Tidak ada maskapai penerbangan internasional besar yang rugi, hanya di Indonesia yang mengalami kerugian dan harus disubsidi oleh negara,” ujarnya.
Sebagai contoh, Iskandar menyoroti Garuda Indonesia yang mencatatkan kerugian bersih sebesar 131,22 juta dolar Amerika atau sekitar Rp2,06 triliun pada kuartal III 2024. Kerugian tersebut meningkat 81,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Hanya di Indonesia saja maskapai berteriak-teriak rugi dan meminta subsidi kepada pemerintah,” tambahnya.
Iskandar juga menyoroti bahwa pada 2023, Singapore Airlines membagikan keuntungan kepada karyawannya hingga delapan kali gaji. Tren ini berlanjut di tahun 2024, dengan bonus serupa diberikan kepada pegawai mereka.
“Pertanyaannya, kenapa mereka bisa melakukan hal itu sedangkan maskapai Indonesia selalu mengeluh merugi?” ungkapnya.
Selain Singapore Airlines, maskapai besar lainnya seperti Emirates, Qatar Airways, Etihad Airways, dan British Airways juga tidak mengalami kerugian.
Sementara itu, Indonesia Airlines yang akan segera hadir di pasar penerbangan nasional berencana menyasar segmen premium. Iskandar mengungkapkan bahwa pendirian maskapai ini melalui studi kelayakan yang mendalam.
“Saya telah melakukan studi kelayakan terkait bisnis aviasi di Indonesia, mengingat lokasi negara ini sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera,” jelasnya.
Menurut Iskandar, meskipun banyak maskapai yang merugi, bisnis penerbangan di Indonesia bukan mengalami kegagalan, melainkan belum dikelola secara maksimal.
Dalam sebuah wawancara di podcast, ia membandingkan kondisi bandara Changi di Singapura yang hanya melayani lebih dari 40 juta penumpang pada 2024, jumlah yang lebih rendah dibandingkan Indonesia, tetapi tetap menghasilkan keuntungan.
“Mereka yang penumpangnya lebih rendah dari kita bisa menghasilkan keuntungan, dan ini menjadi tanda tanya besar bagi kita,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa studi yang dilakukan Indonesia Airlines menargetkan hanya 20 persen dari total penumpang berasal dari Indonesia.
“Dengan perhitungan okupansi 70 persen pada lima tahun pertama, kami menargetkan 4,4 juta penumpang, dengan 20 persen di antaranya berasal dari Indonesia,” katanya.
Maskapai ini juga berencana memulai operasionalnya setelah Lebaran, sekitar bulan Mei, dengan menyasar 20 kota dan berbasis di Bandara Soekarno-Hatta. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok