Repelita Jakarta - Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapus Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000. Kebijakan ini menegaskan pemisahan peran antara militer dan institusi sipil.
Kebijakan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 89 Tahun 2000, yang secara resmi memisahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). ABRI sebelumnya merupakan gabungan dari TNI AD, TNI AL, TNI AU, dan Polri dalam satu komando sebelum reformasi 1998.
Perubahan kebijakan oleh Presiden Gus Dur di antaranya adalah anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer. Selain itu, jabatan Menteri Pertahanan dipisahkan dari Panglima TNI, dan pejabat sipil ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan.
Gus Dur juga menunjuk Panglima TNI dari matra selain Angkatan Darat, dengan memilih perwira dari Angkatan Laut. Ia juga membubarkan Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional.
Dalam konferensi pers bersama Gerakan Nurani Bangsa di Jakarta, Selasa (18/3/2025), Ketua PBNU, Alissa Wahid, menjelaskan alasan Gus Dur menghapus Dwifungsi ABRI. Menurutnya, Gus Dur meyakini bahwa demokrasi hanya dapat berjalan dengan supremasi hukum dan sipil, bukan supremasi militer.
“Ketika supremasi sipil ini tidak terjadi maka demokrasi tidak akan berjalan. Itu yang utama,” ujar Alissa Wahid.
Namun, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menyinggung hal lain. Meski Gus Dur menghapus Dwifungsi ABRI, ia dinilai melahirkan multifungsi Polri. “Tapi melahirkan multifungsi polisi,” ungkap Said Didu dalam akun X pribadinya, Senin (24/2/2024).
Undang-undang TNI yang baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR hingga saat ini masih menjadi polemik. Tak sedikit demonstrasi penolakan yang dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia.
Ada tiga substansi RUU TNI yang disepakati. Pertama, kedudukan TNI, Pasal 7 soal Operasi Militer Selain Perang (OMSP), menambah cakupan tugas pokok TNI dari 14 jadi 16. Dua tugas yang ditambahkan adalah mengenai pertahanan siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri.
Kedua, penempatan TNI pada kementerian/lembaga. Selama ini UU TNI membatasi hanya jabatan sipil di 10 kementerian dan lembaga yang bisa diduduki prajurit militer aktif. Melalui RUU TNI, jumlahnya ditambah menjadi 14, dengan ketentuan berdasarkan permintaan pimpinan kementerian/lembaga yang bersangkutan. Selain 14 kementerian/lembaga itu, prajurit TNI bisa menduduki jabatan sipil tapi harus mundur atau pensiun dulu dari dinas keprajuritan.
Ketiga, mengubah Pasal 53 yang mengatur masa dinas keprajuritan. Masa dinas yang selama ini paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi tamtama dan bintara ditambah sesuai jenjang kepangkatan. “RUU TNI tetap berdasarkan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM, dan memenuhi ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah disahkan,” bebernya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok