Repelita Jakarta - Sebanyak 2.976 orang telah menandatangani petisi yang digagas oleh Imparsial untuk menolak kembalinya dwifungsi ABRI melalui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Petisi ini diluncurkan sebagai respons atas kekhawatiran publik terhadap potensi kembalinya praktik militer aktif menduduki jabatan sipil.
Imparsial, lembaga yang fokus pada isu pertahanan dan keamanan, menilai revisi UU TNI tidak memiliki urgensi untuk transformasi TNI ke arah yang lebih profesional. Sebaliknya, revisi ini dinilai justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI seharusnya fokus pada fungsi pertahanan dan keamanan, bukan menduduki jabatan-jabatan sipil.
"Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer," kata Nursyahbani Katjasungkana, Pendiri & Pembina IMPARSIAL, dalam petisi tersebut.
Petisi ini juga didukung oleh 174 tokoh ternama, termasuk Usman Hamid (Aktivis HAM), Al A'raf (Pengamat Pertahanan dan Keamanan), serta sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat. Mereka menilai bahwa revisi UU TNI berpotensi memunculkan kembali praktik dwifungsi ABRI, di mana militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko menimbulkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil serta menguatnya dominasi militer di ranah sipil.
"Perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI akan merampas hak warga sipil dan memarginalkan perempuan dalam akses posisi-posisi strategis, termasuk di BUMN/BUMD dan lainnya," tegas Nursyahbani.
RUU TNI juga berencana menempatkan militer aktif di lembaga-lembaga sipil seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Imparsial menilai hal ini sebagai bentuk praktik dwifungsi TNI yang tidak tepat. "TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sedangkan Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum. Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung," ujarnya.
Selain itu, RUU TNI juga berencana melibatkan TNI dalam penanganan narkotika. Imparsial menilai langkah ini keliru dan berbahaya bagi negara hukum. Penanganan narkotika seharusnya berada dalam koridor kesehatan dan penegakan hukum yang proporsional, bukan menggunakan model perang. Pelibatan TNI dalam penanganan narkotika berisiko menimbulkan kekerasan yang berlebihan dan pelanggaran HAM.
"Contoh buruk dapat dilihat dari kasus di Filipina pada masa Rodrigo Duterte, di mana model perang terhadap narkoba justru mengakibatkan pelanggaran HAM serius," ungkap Nursyahbani.
RUU TNI juga berencana merevisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR. Hal ini dinilai akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri. "Perubahan pasal ini merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNI dan menghilangkan kontrol sipil," urainya.
Imparsial menilai, revisi UU TNI hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan. *
Editor: 91224 R-ID Elok