Repelita Jakarta - Buku Karl Marx berjudul Das Kapital berisi kritik terhadap kapitalisme, pemilik modal, atau kaum borjuis yang mengeksploitasi buruh. Perlawanan kaum proletar berkembang dari sosialisme hingga komunisme. Ajaran Marx diikuti dan mewujud dalam bentuk Marxisme yang masih satu rumpun dengan leninisme, sosialisme, dan komunisme.
Das Kapital, yang diedit oleh Friedrich Engels, memiliki subjudul Kritik der Politischen Oekonomie yang menyoroti hubungan kuat antara ekonomi dan politik. Para kapitalis dimanja oleh kekuasaan politik, menciptakan kesenjangan yang semakin melebar. Akibatnya, rezim kapitalis selalu dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh rakyat. Marxisme membangun budaya konflik antara penguasa dan pemilik modal dengan kelas bawah yang tertindas.
Pemerhati politik dan kebangsaan, M Rizal Fadillah, menilai bahwa pemerintahan Jokowi telah membangun paradigma investasi yang menjadikan ekonomi sebagai sokoguru pembangunan. Menurutnya, politik, hukum, budaya, moral, dan agama harus tunduk pada kepentingan ekonomi. Dalih kesejahteraan rakyat tidak dapat menutupi kenyataan bahwa yang paling diuntungkan adalah kapitalis dan kaum borjuis.
Ia juga mengkritisi ucapan Jokowi yang dianggap tidak beradab, "Ndasmu!", yang muncul sebagai respons terhadap kritik hubungan eratnya dengan Prabowo. Menurutnya, Prabowo menegaskan tidak ingin dipisahkan dari Jokowi, meski menafikan kendali Jokowi atas dirinya. Ia mengklaim akan melanjutkan kebijakan Jokowi, tetapi tetap berdiri secara mandiri. Namun, pernyataannya kontradiktif ketika menyebut Jokowi sebagai guru politiknya.
M Rizal Fadillah menambahkan bahwa Jokowi, melalui proyek Rempang, IKN, jalan tol, PIK 2, dan berbagai pembangunan infrastruktur lainnya, menampilkan diri sebagai pemimpin yang mendukung investasi. Prabowo, sebagai penerus, tampaknya akan menerapkan kebijakan yang sama. Ini memperlihatkan keberlanjutan rezim investasi dan kapitalisme.
Menurutnya, istilah "Ndas Kapital" menggambarkan pola pikir yang hanya berorientasi pada uang, kapital, investasi, pinjaman luar negeri, komisi, atau bahkan upeti. Danantara menjadi bagian dari strategi kapitalisme negara, mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan kapitalis dan imperialis. Sementara itu, BUMN yang sudah diperas habis kini kembali dimanfaatkan untuk kepentingan elite penguasa.
Suksesnya Sovereign Wealth Fund di berbagai negara, lanjutnya, bergantung pada SDM yang amanah dan iklim usaha yang sehat. Namun, Indonesia menghadapi masalah besar dalam aspek tersebut. Ia menilai pemerintahan saat ini dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kepentingan pribadi. Berbagai kasus yang belum terselesaikan di era Jokowi berisiko berlanjut di bawah kepemimpinan Prabowo.
Dana sebesar 14 ribu triliun yang dikelola bukan jumlah kecil, meskipun tahap awal disebut hanya 300 triliun. Jokowi sebelumnya mengklaim memiliki 11 ribu triliun, sementara kini Prabowo tampak mengikuti jejaknya. Keduanya seolah berlomba memamerkan klaim kekayaan, mencerminkan pola pikir yang tidak memprioritaskan budaya, hukum, moral, dan agama.
Omnibus Law, BRIN, dan kini Danantara menunjukkan penyederhanaan dan penyatuan kendali berbasis arogansi "Ndas Kapital". Permintaan untuk pengawasan dinilai hanya sebatas retorika, tanpa ada perbaikan mental para pemimpin yang dianggap oportunis dan represif terhadap rakyat.
"Ndasmu!" adalah simbol kritik terhadap pola pikir kapitalisme yang mendominasi pemerintahan saat ini. "Ndas Kapital, Pak Prabowo," pungkas M Rizal Fadillah.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok