Repelita, Jakarta - OPA atau Operasi Penyelamatan Aguan nampaknya sedang berjalan. Hal ini terbukti dari batalnya pencabutan sertifikat pagar laut milik perusahaan Aguan, menurut Menteri Nusron Wahid, yang awalnya dijanjikan akan dicabut. Meskipun demikian, Bareskrim Mabes Polri telah menyatakan bahwa perusahaan Aguan dan Antoni Salim tidak terlibat dalam masalah pagar laut maupun SHGB atau SHM.
Netizen memberikan komentar, "Sudah diduga". Dalam kasus terkait PIK 2 ini, terasa ada benturan kepentingan antara rakyat dengan penguasa dan pengusaha. Yang kena sanksi hukum hanya pihak yang tidak berpengaruh, sementara para pemegang kekuasaan dan investor tidak tersentuh. Pencabutan pagar laut belum tuntas, SHGB tidak menyentuh inti masalah, dan PSN masih dievaluasi. Akhirnya, proyek PIK 2 tetap berjalan.
M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan, menyebut bahwa OPA yang sukses menjadi simbol bahwa negara telah kalah oleh cukong, kalah oleh naga, kalah oleh pihak tertentu. Negara kerakyatan hanya narasi dalam konstitusi, negara hukum hanya pemanis untuk sambutan, dan negara bermoral sudah dibuang ke sampah. Negara Pancasila semakin jauh dari nilai-nilai perumusannya.
"9 Naga, 10 Naga, dan seterusnya tumbuh beranak pinak," ujar M Rizal Fadillah. PIK 1 dan PIK 2 semakin mengokohkan kedigjayaan para pemilik uang. Pemerintah hanya berperan sebagai pelayan, melindungi dan memuliakan mereka, mengerahkan aparat untuk membalas jasa aliran cuan ke kantong pribadi. Suap menjadi bagian dari keseharian.
Naga telah mencengkeram Garuda. Perisai di dadanya semakin tercabik-cabik. Lambang demokrasi, Garuda, sudah tidak berbentuk lagi dan diubah menjadi Cuankrasi atau Nagakrasi. Dari Naga, oleh Naga, untuk Naga. Dari Cina oleh Cina untuk Cina. Kekuatan global Republik Rakyat Cina menjadi kiblat dalam bisnis, budaya, dan politik.
Bahaya di depan mengancam bangsa Indonesia yang katanya merdeka. Seperti dahulu VOC yang memulai interaksi dengan dagang, bermitra, lalu berkuasa, kini minoritas menjajah mayoritas. Rakyat Indonesia dipinggirkan, sementara para kolaborator hidup sejahtera. Cukup lama bagi rakyat untuk melawan dan berontak.
Kini, penjajahan itu tidak boleh terlalu lama. Naga tidak boleh terus-menerus menguasai dan memperalat pejabat atau aparat. Kekuasaan Naga harus dilawan. Rakyat mungkin cinta damai, tetapi lebih mencintai kemerdekaan. Berontak menjadi pilihan. Dimulai dengan desakan agar aparat membongkar patung Naga PIK 2 yang menjadi lambang Cinaisasi, kolonialisasi, dan penggerusan demokrasi.
Pagar laut dan sertifikasi tidak terkait Aguan dan perusahaannya. Bareskrim tergesa-gesa mengumumkan tanpa pemeriksaan seksama. Menteri ATR juga batal mencabut sertifikat perusahaan Aguan. Semua pihak takut pada Aguan. Presiden pun tidak berani menyentuh Naga. Operasi Penyelamatan Aguan (OPA) berjalan, dan sukses memperkokoh kedudukan Naga. Negara demokrasi hanya menjadi pelajaran bagi anak-anak di sekolah. Praktek politik yang berjalan adalah Nagakrasi, yang semakin kokoh.
Nagakrasi adalah modus kejahatan politik yang anti-konstitusi dan ideologi, yang menyuburkan kolusi dan korupsi. Penjahat negara ada di depan mata, tidak perlu mencarinya sampai ke Antartika. Dari Naga, oleh Naga, untuk Naga. Indonesia benar-benar dalam bahaya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok