Repelita Jakarta - Kasus dugaan mega korupsi di lingkungan PT Pertamina cukup mencengangkan publik tanah air. Nilai kerugian negara yang begitu fantastis membuat masyarakat geram.
Atas pengungkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu, mantan Sekretaris BUMN, Said Didu ikut memberikan komentarnya. Tokoh yang dikenal kritis itu khusus menyoroti salah seorang tersangka Muhammad Kerry Andriantono, yang merupakan putra pengusaha Mohammad Riza Chalid (MRC).
Said Didu menyebut, langkah Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus tersebut menjadi tanda yang baik dalam memberantas mafia migas di Indonesia.
Penangkapan pejabat Pertamina dan Putra MRC oleh Kejaksaan Agung, diharapkan sebagai langkah Presiden Prabowo Prabowo menggulung karpet merah mafia migas Indonesia, yang selama ini diberikan oleh rezim-rezim sebelumnya kepada mafia migas tersebut.
Said Didu menyebut, publik paham bahwa MRC memiliki sejarah panjang sebagai pihak yang selalu mendapatkan karpet merah oleh rezim-rezim sebelumnya, dalam mengatur tata niaga migas Indonesia.
Tahun 2008, saat Pertamina berkeinginan menghentikan peran Petral dalam mengatur perdagangan migas Pertamina untuk dikendalikan langsung oleh Pertamina lewat ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina. Saat itu, Deputi Direktur ISC Pertamina dipegang oleh Sudirman Said yang sedang menyiapkan perubahan tersebut, tapi diminta menghentikan proses pengalihan tersebut dan meminta agar pengaturan perdagangan dikembalikan ke Petral lagi.
Perintah seperti ini dapat dipastikan berasal dari keputusan rezim saat itu. Selain program tersebut dihentikan, Sudirman Said juga diberhentikan oleh Dirut Pertamina saat itu, Karen Agustiawan.
“Dan kita semua tahu bahwa Petral hanyalah vehicle yang selama ini dikendalikan oleh Geng MRC. Akhirnya Petral kembali ke fungsinya sebagai pengendali tata niaga migas Pertamina,” kata Said Didu dilansir dari akun X Said Didu, @msaid_didu, Rabu (26/2).
Said Didu menyebut, cerita tentang penghentian ISC dan Sudirman Said serta Dirut Pertamina (Arie Soemarno -Alm) dipahami betul, tapi belum saatnya dibuka.
Tahun 2014, Menteri ESDM Sudirman Said membentuk Satgas Anti-Mafia Migas yang diketuai oleh almarhum Faisal Basri, dan menemukan bahwa transaksi perdagangan Migas di Petral sebagian besar jatuh ke tangan MRC. Satgas tersebut merekomendasikan pembubaran Petral.
Atas rekomendasi Satgas, maka pada 2015, Menteri ESDM meminta Pertamina untuk melakukan Audit Investigasi terhadap Petral dan hasilnya sudah dilaporkan ke Presiden Jokowi tahun 2015. Hasil audit menunjukkan bahwa ada persekongkolan dalam pengadaan Migas selama ini. Presiden Joko Widodo saat itu sempat ragu untuk meminta Menteri ESDM untuk melaporkan hasil audit tersebut ke KPK.
Tapi Pertamina dan Menteri ESDM tetap melaporkan ke KPK, namun semua mandeg. Saat itu, sepertinya mafia migas kembali kuat.
Tahun 2015 terbuka kasus papa minta saham Freeport. Tokoh utama kasus tersebut adalah mantan Ketua DPR, Setya Novanto dan MRC. Atas kasus tersebut, Setya Novanto sudah menjalani hukuman dengan berhenti sebagai Ketua DPR, tapi MRC tidak tersentuh sedikit pun - bahkan berkali-kali sering muncul sebagai tamu VIP Presiden Joko Widodo.
Inilah gambaran ringkas betapa kuatnya MRC dalam "mengendalikan" perdagangan migas di Indonesia karena selalu mendapatkan karpet merah rezim yang sedang berkuasa.
Saya punya sejarah panjang "bersinggungan" dengan MRC. Bahkan hari pertama sebagai Sesmen BUMN (2005) saya sudah "berhadapan" dengan ybs dan terakhir saat kasus Papa minta saham - intinya selama ini ybs mendapatkan karpet merah setiap rezim yang berkuasa.
Apakah Presiden Prabowo akan menggulung karpet merah yang selalu disiapkan oleh rezim untuk mafia migas selama ini? Ataukah sekedar ganti mafia? “Mari kita tunggu,” tandas Said Didu. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok