Repelita Jakarta - Skandal korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina senilai Rp193,7 triliun mengguncang dunia migas dan memicu keraguan publik terhadap efektivitas sistem pengawasan BBM, terutama penggunaan barcode Pertalite. Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Haryadi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (26/2/2025), mengungkapkan adanya penurunan drastis dalam penjualan BBM Pertamina.
“Kami sedang mendalami soal skema penentuan Research Octane Number (RON). Ini jadi isu hangat, dan saya tanya langsung ke Pertamina, memang terjadi penurunan pembelian yang cukup signifikan,” kata Bambang.
Keresahan publik semakin memuncak setelah muncul dugaan bahwa RON BBM, yang menentukan kualitas bahan bakar, bisa dimanipulasi. “Kalau RON saja bisa dipalsukan, wajar kalau masyarakat bertanya-tanya. Saya yakin ini berdampak pada kendaraan mereka,” tambahnya.
Sebagai langkah konkret, DPR berencana mengundang perusahaan otomotif seperti Astra untuk mengetahui apakah selama ini ada keluhan terkait penggunaan BBM tertentu. “Kami ingin mendapat penjelasan, apakah ada masalah teknis di kendaraan akibat perubahan kualitas BBM. Ini penting agar isu ini tidak makin liar di masyarakat,” ujar Bambang.
Salah satu sopir antar daerah, Taslim, mengeluhkan barcode Pertalite yang sejatinya dirancang untuk memastikan BBM bersubsidi tepat sasaran. Namun, kasus ini justru menguak celah besar dalam sistem pengawasan.
“Untuk apa ada barcode kalau ternyata BBM bisa dioplos dan (RON) dimanipulasi? Ini tentu merugikan kami. Jatah pertalite dibatasi, tapi ternyata Pertamax dipalsukan,” keluh Taslim.
Sementara itu, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018-2023. Mereka termasuk sejumlah pejabat tinggi Pertamina dan pihak swasta, dengan modus memanipulasi impor minyak, mengatur broker, hingga mengoplos BBM—praktik yang turut memperkeruh kepercayaan publik. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok