Repelita Jakarta - Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara, menyoroti soal putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden. Namun, dalam analisisnya, Zainal mengungkapkan bahwa masalah seputar pemilihan presiden (pilpres) masih banyak yang perlu diperbaiki, bukan hanya soal penghapusan presidential threshold.
Zainal meninjau kembali beberapa keputusan MK terkait Pilpres, khususnya mengenai imbauan untuk membatasi jumlah calon presiden. “MK mengatakan bahwa setelah putusan ini, maka DPR juga harus memikirkan untuk mengambil langkah supaya calon presiden tidak usah terlalu banyak,” ujarnya dalam wawancara dengan youtube Satu Visi Utama, Sabtu (4/1/2025).
Namun, Zainal justru merasa keberatan dengan pandangan MK tersebut. “Saya agak against dengan MK, ya. Saya mengatakan, apa kaitannya MK harus mengatur Pilpres supaya jangan terlalu banyak, dan lain-lain sebagainya,” tambahnya.
Menurut Zainal, hal ini bukan merupakan ranah MK, dan justru berisiko menciptakan preseden buruk dalam penyelenggaraan demokrasi. Zainal juga menyinggung berbagai kecurangan yang terjadi dalam proses Pemilu 2024, baik pada pemilihan legislatif maupun presiden.
Zainal mengungkapkan kekhawatirannya terhadap integritas penyelenggaraan Pemilu, terutama independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menilai adanya temuan perbedaan signifikan antara hasil survei dan perolehan suara resmi yang mencurigakan, terutama terkait dugaan manipulasi suara antarpartai.
Pandangan Zainal juga mengarah pada peran presiden dalam Pemilu. Ia menyebutkan, ketika presiden tidak lagi mencalonkan diri, ia tetap dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk mendukung kandidat pilihannya. “Saya khawatir ini merusak prinsip keadilan Pemilu,” ujarnya.
Zainal menyoroti berbagai cara yang digunakan oleh presiden, seperti pelibatan aparat, penggunaan bantuan sosial, dan tekanan terhadap aparat lokal. Menurutnya, ini merusak prinsip keadilan Pemilu.
Dalam konteks ini, Zainal mengajukan perlunya pembatasan kekuasaan presiden yang tidak lagi mencalonkan diri untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. “Presiden dipincangkan,” tegas Zainal. Istilah tersebut merujuk pada pembatasan kekuasaan presiden agar tidak dapat digunakan secara serampangan dalam proses Pemilu.
“Dalam konsep teoretis sering disebut dengan lame duck president, bagaimana dia dibatasi supaya kekuasaan yang terlalu besar yang menumpuk padanya tidak bisa digunakan secara serampangan. Itu adalah salah satu pekerjaan rumah besar,” terangnya.
Zainal Arifin menilai langkah ini penting untuk menjaga integritas demokrasi, memastikan bahwa Pemilu berjalan adil, dan menghindari dominasi kekuasaan eksekutif dalam menentukan hasil Pemilu. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok