Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

"YLBHI Sebut Jokowi Layak Masuk Nominasi Tokoh Terkorup Dunia, Ini 10 Alasannya"

 10 Faktor Jokowi Layak Disebut Pemimpin Korup dan Pelanggar Hukum dan HAM  terorganisir - YLBHI

Repelita Jakarta - Pro kontra mengiringi sejak Presiden ke-7 RI Jokowi masuk nominasi tokoh terkorup dunia. Tak sedikit yang meragukan kredibilitas Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), organisasi yang merilis daftar tokoh terkorup dunia itu.

Kalangan yang membela Jokowi beragam, mulai dari pendengung hingga petinggi partai. Namun, tidak sedikit pula yang berpandangan Jokowi memang layak masuk nominasi tersebut. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan menyebut ada 10 alasan Jokowi layak.

"YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana dalam keterangannya, dikutip Senin (6/1).

YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat. Pertama, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara sistematis.

YLBHI mengungkapkan, Indeks Persepsi Korupsi saat ini mengalami stagnasi bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lepas landas lainnya. Selain itu, pada era pemerintahan Jokowi, tepatnya 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, sehingga lembaga antirasuah tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden.

Berbarengan dengan revisi tersebut, Komisi III DPR pada 12 September 2019 memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dengan mendapatkan 56 suara. Karena revisi ini, para pegawai KPK kemudian perlu berubah status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Dampaknya, pada 25 Mei 2021, sebanyak 51 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan dan diberhentikan," ucap Arif.

Kedua, revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2020. YLBHI menyebut, proses pembentukan UU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Ia menyesalkan, sentralisasi penguasaan Mineral dan Batubara menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dan kontrol masyarakat terhadap penguasaan pertambangan.

Selain itu, perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan. Serta, tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah pertambangan, yang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sudah terlampaui, ditakutkan akan berdampak pada bencana alam akibat eksploitasi berlebihan.

"Kami juga mencatat pasca regulasi tersebut direvisi terjadi kenaikan investasi yang menyasar sektor sumber daya alam. Produksi nikel meningkat secara gradual, surplus target batubara nyatanya berbanding terbalik dengan serapan pendapatan negara selama setidaknya tiga tahun terakhir pada 2022-2024," ungkap Arif.

Ketiga, Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances. YLBHI mengungkapkan, publik masih mengingat bahwa draft RUU Omnibus Law lahirnya dari Istana. Jokowi saat itu meminta DPR untuk mengesahkan dalam kurun waktu 100 hari.

Di tengah penolakan keras dari rakyat, Legislatif dan Yudikatif malah menutup telinga dan matanya untuk tidak mendengarkan aspirasi. Bahkan, Jokowi membuat pernyataan intimidatif yang meminta BIN dan Polri mendekati kelompok masyarakat yang menolak paket kebijakan sapu jagat tersebut, serta mengerahkan kepolisian untuk melakukan represi sistematis terhadap massa aksi di beberapa kota.

"Omnibus Law berakhir disahkan, namun dibatalkan oleh MK dengan syarat perlu melakukan revisi dengan prinsip partisipasi bermakna. Jokowi tidak mendengarkan putusan tersebut, namun malah membangkang dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) dengan substansi yang sama tanpa menyerap aspirasi rakyat," cetus Arif.

Keempat, Rezim Nihil Meritokrasi. YLBHI menyebut, merupakan rahasia umum bahwa selama Jokowi menjabat, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial.

Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN. Mereka adalah Rizal Mallarangeng, Lukman Edy, Zulnahar Usman, Arya Sinulingga, Arief Budimanta, Irma Suryani Chaniago, Dudy Purwagandhi, Fadjroel Rachman, Andi Gani Nena Wea, Ukin Ni’am Yusron, Eko Sulistyo, Dyah Kartika Rini, Kristia Budiyarto.

"Ditempatkannya orang-orang dekat Jokowi menunjukan praktik reformasi birokrasi dengan skema meritokrasi hanya jargon belaka," ujar Arif.

Kelima, menghidupkan kembali dwifungsi militer. YLBHI menuturkan, dwifungsi ABRI di Indonesia adalah sejarah lambang kekuasaan yang korup. Di masa kekuasaannya, Jokowi mencoba kembali menghidupkan praktek tersebut.

Berdasarkan catatan Mahkamah Rakyat beberapa poin penting yang dapat menunjukkan kembalinya praktek ini, melalui pengesahan Undang-undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Ia mengungkapkan, di undang-undang ini jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif diperluas.

Serta menempatkan 29 anggota TNI aktif menjabat secara ilegal di luar ketentuan UU TNI. Ini menyebar dari pemerintah pusat hingga mengisi posisi Pj kepala daerah.

"Bahkan memberikan proyek food estate kepada Kementerian Pertahanan yang akhirnya melegitimasi tentara untuk berbisnis," ungkap Arif.

Keenam, BUMN menjadi Badan Usaha Milik Relawan. YLBHI menyesalkan langkah Menteri BUMN Erick Thohir yang melakukan perombakan pejabat perusahaan BUMN Eselon I yang merupakan arahan dari Jokowi. Dalam prakteknya, perombakan tersebut sarat akan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan melanggar Asas-Asas Pemerintahan Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), karena banyak pejabat perusahaan BUMN yang merangkap jabatan.

"Rangkap jabatan ini dilegitimasi dengan dirombaknya kebijakan yang awalnya melarang menjadi diperbolehkan. Beberapa pejabat perusahaan di BUMN tercatat juga melakukan rangkap jabatan. Tercatat Carlo B Tewu diangkat sebagai Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan. Tewu, diangkat ketika dirinya masih menjabat sebagai Irjen Polri tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu," tutur Arif.

Ketujuh, intelijen untuk kepentingan politik. YLBHI menyebut Jokowi memberikan posisi kepada relawannya dalam Pilpres kepada Diaz Hendropriyono dan Gories Mere sebagai staf khusus intelijen istana. Presiden adalah orang, bukan institusi yang kaderisasinya berjalan berjenjang.

Diaktifkannya intelijen istana di masa Jokowi dimanfaatkan dengan baik olehnya sebagai alat untuk memperkuat posisi politiknya. Publik mengingat bahwa Jokowi pernah menyampaikan bahwa dirinya memiliki semua isi dapur partai politik yang dikumpulkan dari kerja-kerja intelijen.

“Dampaknya, tak hanya satu partai politik yang sempat diacak-acak oleh Jokowi dan gerbongnya. Diaz, ketika itu juga merupakan komisaris PT Telkomsel dan komisaris PT M Cash Integrasi Tbk," urai Arif.

Kedelapan, represi dan kriminalisasi. YLBHI mengungkap, dilahirkannya kebijakan-kebijakan tidak demokratis, serta politik bagi-bagi jabatan, rezim Jokowi membentengi ruang demokrasi rakyat dengan represi yang tiada henti. Aksi penolakan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan direspons dengan penangkapan yang menimpa 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta pada 2015.

Bahkan, pada tahun yang sama pula 49 orang dikriminalisasi setelah mencoba untuk mengungkap kasus korupsi Budi Gunawan. Salah satunya adalah Bambang Widjojanto. Sementara pada 2019, LBH-YLBHI mencatat bahwa setidaknya terdapat 6.128 masyarakat sipil yang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum.

"YLBHI dan jaringan mencatat setidaknya terdapat 333 massa aksi yang menjadi korban dengan berbagai macam bentuk serangan dari polisi, aparat berbaju bebas, dan tentara. Bentuk-bentuk serangan tersebut di antaranya adalah doxing, perampasan aset, penganiayaan, perburuan, penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, penghilangan paksa dalam waktu singkat, hingga penghalang-halangan pendampingan hukum," papar Arif.

Kesembilan, proyek strategis nasional merampas ruang hidup rakyat. YLBHI menuturkan, banyak langkah korup yang dilakukan oleh rezim Jokowi untuk memperlancar apa yang hari ini biasa kita sebut sebagai Proyek Strategis Nasional.

Jokowi membuat pondasi kebijakan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, PP No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan segala revisinya, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Kebijakan ini dalam banyak praktek bisnis, dijadikan sebagai stempel untuk memuluskan proses pembebasan lahan. Rempang Eco City, Wadas, dan Pulau Komodo adalah contohnya. Bahkan, Majelis Rakyat Luar Biasa 2024 lalu mencatat bahwa, Jokowi melegitimasi deforestasi 2 juta hektar hutan untuk proyek PSN ketahanan pangan," ungkap Arif.

Kesepuluh, nepotisme kekuasaan. Pada akhir masa jabatannya, Jokowi mencoba segala cara dengan memobilisasi polisi, menteri, dan para relawannya, serta menggunakan fasilitas negara (bantuan sosial) untuk mengamankan posisi anaknya memenangkan kursi Wakil Presiden dalam Pilpres 2024.

Tidak berhenti di situ, Jokowi juga terlihat mensponsori menantu, dan anaknya maju dalam pemilihan kepala daerah dengan sekali lagi mencoba untuk merevisi Undang-undang Pilkada. Bobby Nasution (menantu Jokowi) yang hendak maju menjadi calon Gubernur Sumatera Utara; Ahmad Luth

fi (anak Jokowi) yang menjadi calon Wakil Bupati Karanganyar, serta Putra Jokowi (Gibran Rakabuming) yang diproyeksikan menjadi calon presiden terdepan.

YLBHI menduga inilah yang disebut "nepotisme" dan ingin menyarankan agar masyarakat mengawasi dan memperhatikan jalannya Pilpres serta Pilkada 2024 ini. (*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved