Repelita Jakarta - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% hanya untuk barang mewah. Keputusan ini diambil setelah adanya protes dari berbagai kalangan terkait rencana kenaikan PPN.
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa barang dan jasa pokok masyarakat yang selama ini dibebaskan atau dikenakan tarif PPN 0% tetap berlaku. "Saya ulangi, barang dan jasa yang selama ini diberi fasilitas pembebasan pajak yaitu PPN 0% masih berlaku," ujar Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan pada Selasa (31/12/2024).
Prabowo menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN 12% sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari 10% pada 2022, kemudian naik menjadi 11% pada 2022, dan pada awal 2025 akan kembali naik menjadi 12%.
Menurut Prabowo, kenaikan tarif PPN ini dimaksudkan agar tidak memberikan dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Ia juga menekankan bahwa PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah mewah.
"Pajak karbon merupakan salah satu amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," tambah Prabowo. Namun, meskipun pajak karbon belum diterapkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki pasar karbon yang dapat melakukan cap and trade untuk mengontrol emisi yang dihasilkan.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menilai bahwa kenaikan PPN mencerminkan preferensi pemerintah yang cenderung 'pilih kasih' dalam kebijakan perpajakan. Ia menyebutkan bahwa pajak karbon dapat menjadi solusi alternatif yang lebih efektif daripada kenaikan PPN, yang selain dapat mendorong pengurangan emisi, juga bisa menghasilkan pendapatan tambahan bagi negara.
Selain itu, pemerintah juga telah memiliki dasar hukum untuk menarik pajak dari perusahaan digital seperti Google, Meta, dan perusahaan multinasional lainnya. Sayangnya, pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan ini masih menunggu konsensus global yang diinisiasi oleh OECD.
Media menyebutkan bahwa pajak karbon dapat menjadi solusi yang lebih baik, namun pemerintah hingga saat ini belum berani untuk mengeluarkan peraturan terkait pajak penghasilan bagi perusahaan digital, yang seharusnya dihitung berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok