Repelita Jakarta - Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) baru-baru ini mengungkapkan klarifikasinya terkait masuknya nama mantan Presiden Jokowi dalam daftar finalis pemimpin paling korup dunia. OCCRP menyebutkan bahwa Jokowi dianggap merusak proses pemilihan umum demi menguntungkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Akademisi Unair, Henri Subiakto, memberikan tanggapannya terkait semakin terpojoknya Jokowi setelah klarifikasi tersebut dipaparkan oleh OCCRP. Ia menganalisis efektivitas buzzer pemerintah yang terus menyangkal dan membela Jokowi, bahkan tetap menuntut bukti dari OCCRP setelah klarifikasi tersebut.
"Kekuatan politik yang mencoba melawan dan menyalahkan gerakan netizen, pemberitaan media dan aktivis demokrasi, ujungnya akan kehabisan energi, semangat dan rasionalitas," tulisnya di X pribadinya, pada Minggu, 5 Januari 2025.
"Karena media dan netizen itu kekuatannya sangat besar, jumlah manusia yang terlibat tidak terbatas dan tak hanya di suatu tempat atau negara," lanjutnya.
Henri menekankan bahwa kekuatan politik yang mengandalkan buzzer dalam strategi komunikasi digital menghadapi tantangan besar saat berhadapan dengan opini masyarakat yang luas dan beragam.
Ia berpendapat bahwa buzzer pemerintah memiliki keterbatasan, terutama karena keberadaan mereka sangat tergantung pada rasionalitas kebijakan, anggaran, serta kepentingan elit yang mendukungnya. Loyalitas buzzer cenderung terbatas pada kepentingan elit tersebut, dan apabila kebijakan pemerintah tidak selaras dengan kehendak masyarakat luas, narasi yang dibawa oleh buzzer dapat kehilangan legitimasi dan dianggap tidak relevan.
Sebaliknya, gerakan yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi memiliki daya tahan lebih kuat. Hal ini dikarenakan gerakan tersebut didukung oleh komitmen terhadap perjuangan nilai serta profesionalisme yang mendorong sikap kritis terhadap kekuasaan.
Henri Subiakto mengingatkan bahwa media dan netizen memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik karena jumlah individu yang terlibat tidak terbatas dan melampaui sekat-sekat wilayah maupun negara.
"Kalau pemerintahnya benar dan baik, gerakan mereka bisa saja didukung masyarakat, tapi kalau faktanya bertentangan dengan kehendak masyarakat luas, suara buzzer menjadi lucu, aneh dan tak masuk akal," pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok