Repelita Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan gugatan yang diajukan berbagai pihak, yang sebelumnya selalu kandas di MK.
Presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dianggap bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
Selain itu, ketentuan ini juga dianggap melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak bisa diterima. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam pembacaan pertimbangan hukum, menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapapun besaran atau angka persentasenya, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Saldi menambahkan bahwa ambang batas tersebut menyulitkan partai politik baru yang berhasil lolos sebagai peserta pemilu, karena mereka secara otomatis kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
MK juga menilai bahwa penggunaan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden adalah sebuah ketidakadilan.
MK menyatakan bahwa presidential threshold yang ada sebelumnya terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Penetapan angka ambang batas tersebut juga tidak didasarkan pada perhitungan yang jelas dan rasional.
Namun, dalam putusan ini terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh. Keputusan ini dihasilkan dari permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok