Repelita, Jakarta - Pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti untuk mengkaji ulang Ujian Nasional (UN) mengundang beragam reaksi dari masyarakat.
Terdapat sejumlah pihak yang menolak hingga mencetuskan petisi “Tolak Ujian Nasional, Wujudkan Pendidikan Baik” di platform change.org. Sampai berita ini ditulis pada 10 Januari 2025, sudah ada 2.733 tanda tangan yang menolak UN diadakan lagi.
Berbagai alasan dikemukakan oleh mereka, mulai dari anggapan UN tidak mewakili keseluruhan proses belajar hingga keluhan tentang pergantian kebijakan setiap kali pergantian kabinet atau pemerintahan.
Pakar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Subarsono, M.Si., M.A. menyampaikan pendapatnya tentang wacana UN diadakan lagi.
Menurutnya, UN penting bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Bagi pemerintah, UN memberikan standar penilaian peserta didik. Bagi sekolah, UN menjadi instrumen evaluasi kualitas pendidikan. Sementara bagi siswa dan orangtua, UN memberikan motivasi untuk belajar lebih giat.
Selain itu, Subarsono berpendapat hasil Ujian Nasional bisa menjadi alat ukur pemerintah untuk melakukan pemerataan pendidikan, yakni dengan memetakan daerah mana yang meraih nilai UN terendah dan tertinggi.
“Misalnya kita bisa bagi di Indonesia barat, tengah, dan timur, sehingga pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk mengatrol atau memfasilitasi dalam rangka meningkatkan nilai UN di daerah-daerah atau sekolah-sekolah yang nilai UN-nya rendah,” ujarnya saat dihubungi Pikiran-rakyat.com.
Kendati demikian, Dosen Ilmu Administrasi Publik UGM ini mengusulkan agar UN tidak dijadikan satu-satunya syarat kelulusan, tetapi dikombinasikan dengan sistem penilaian lainnya.
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 3, Jalan Belitung, Kota Bandung, Selasa (5/11/2024). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, menyampaikan rencananya bahwa pihaknya saat ini tengah menyerap aspirasi dari berbagai pihak terkait sejumlah kebijakan di bidang pendidikan mulai dari sistem zonasi sekolah hingga penyelenggaraan kembali ujian nasional (UN).
Mengenai gelombang penolakan publik atas wacana kebangkitan UN, Subarsono berpendapat bahwa Pemerintah punya kewenangan untuk mengubah suatu kebijakan mengikuti dinamika di masyarakat.
“Kalau masalah kebijakan itu boleh-boleh saja dilakukan perubahan karena melihat situasi, kondisi, dan kualitas pendidikan, sehingga akan selalu ada kebijakan baru dalam merespons teknologi maupun masyarakat,” tuturnya.
“Kebijakan publik bukanlah barang yang sakral. Kebijakan apa pun perlu ditinjau ulang apakah sebuah kebijakan masih relevan dengan kemajuan masyarakat, kalau itu sudah tidak relevan dengan kemajuan masyarakat dan tidak bisa menopang pencapaian visi misi sektor pendidikan, maka kebijakan itu harus di-upgrade,” imbuhnya.
Terlebih lagi, Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyebut pelaksanaan UN baru akan dimulai pada tahun ajaran 2025-2026.
Oleh karenanya, kata Subarsono, sekolah, siswa, dan masyarakat masih punya waktu untuk mempersiapkan diri.
“Setahun saya pikir cukup lah. Kalau dilakukan pada tahun 2025 (tahun ini), saya pikir itu sebaiknya dihindari karena perlu persiapan pada level sekolah maupun di level masyarakat, orangtua, dan siswanya.”
“Kalau satu tahun kan masih ada sesuatu yang perlu ditata, bagaimana menata kurikulum, mempersiapkan siswanya. Saya pikir tahun 2026 dilakukan, menurut saya it’s okay,” ujarnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok