Repelita Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hakim untuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan sebelum memutus suatu perkara. Namun, ahli hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa perilaku 'sopan' tidak relevan menjadi hal yang meringankan dalam kasus korupsi dan terorisme.
Abdul Fickar menyampaikan bahwa sikap sopan merupakan hal yang memang harus dilakukan setiap orang dalam persidangan, termasuk para terdakwa. "Ya, dalam keadaan biasa, sikap sopan merupakan hal biasa yang harus dilakukan siapa pun dalam persidangan, termasuk terdakwa," ujarnya pada Jumat (3/1/2025).
Abdul menilai bahwa terdakwa bisa saja bersikap agresif dalam persidangan. Dia menyarankan agar hakim dibekali ilmu kejiwaan untuk mengantisipasi sikap agresif yang mungkin muncul. "Mungkin hal ini terkait dengan sering juga adanya terdakwa yang agak agresif dalam mengekspresikan sikapnya, sangat mungkin sikap agresif sering kali timbul dari mereka yang tidak merasa bersalah tetapi dijadikan terdakwa," jelasnya.
Menurutnya, tingkat kedewasaan setiap terdakwa berbeda. Oleh karena itu, sikap sopan dan tidak sopan terlalu bias dan tidak tepat dijadikan alasan meringankan atau memberatkan putusan. "Karena beragamnya tingkat kedewasaan orang atau terdakwa dalam menghadapi sidang, terutama mereka yang baru pertama kali berhubungan dengan pengadilan, jadi sopan dan tidak sopan itu sering kali menjadi bias," tambahnya.
Abdul juga menyebutkan bahwa penilaian terhadap sikap sopan atau tidak sopan memberikan kesan bahwa hakim-hakim di Indonesia mudah tersinggung. "Kesannya hakim-hakim kita mudah tersinggung dan belum matang menghadapi situasi kejiwaan para terdakwa," ujarnya.
Dia pun menilai sikap sopan tidak relevan diperhitungkan dalam perkara korupsi dan terorisme, karena pengadilan seharusnya menjadi tempat beradu argumen, bukan sekadar mempertimbangkan sikap. "Apalagi jika dikaitkan dengan perkara korupsi dan terorisme menjadi sangat tidak relevan. Pengadilan itu tempatnya 'adu argumen' tentang bersalah tidaknya seseorang, sekeras apa pun suasananya," tuturnya.
Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa pertimbangan meringankan memang diatur dalam KUHAP, yang wajib dicantumkan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana. Hal ini disampaikan oleh juru bicara MA, Yanto, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Kamis (2/1/2025). Menurut Yanto, hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sesuai Pasal 197 KUHAP.
"Sebelum menjatuhkan pidana, hakim perlu mempertimbangkan hal yang memberatkan dan yang meringankan," ujar Yanto.
Menurut Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada beberapa keadaan atau kondisi yang dapat menjadi pengurang hukum pidana bagi terdakwa. Alasan kesopanan sendiri muncul pada Putusan Mahkamah Agung 2006, yang kemudian menjadi yurisprudensi dengan kekuatan hukum yang mengikat.
Adapun beberapa putusan MA terkait sikap sopan yang dapat meringankan hukuman pidana adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015 yang keduanya mempertimbangkan sikap sopan dalam persidangan sebagai faktor meringankan hukuman. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok