Pilkada 2024 Serentak menjadi ajang pembuktian kekuatan politik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan sejumlah kandidat yang didukungnya meraih kemenangan di berbagai daerah, meski tidak di Jakarta.
Kemenangan Jokowi terlihat jelas di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Banten. Di Jawa Tengah, pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin unggul telak dari Andika Perkasa-Hendrar Prihadi dengan 57,95 persen suara. Di Jawa Barat, Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan memperoleh 61,14 persen suara.
Di Sumatera Utara, pasangan Bobby Nasution-Surya, yang merupakan menantu Jokowi, menang dengan 63,01 persen suara. Di Banten, pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah mengalahkan Airin Rachmi Diany dengan 58,39 persen suara, dan di Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak mengalahkan dua pasangan lainnya dengan 57,15 persen suara.
Namun, Jakarta menjadi satu-satunya wilayah di mana kandidat yang didukung Jokowi, Ridwan Kamil-Suswono, gagal meraih kemenangan. Mereka hanya memperoleh sekitar 39 persen suara, kalah dari Pramono Anung-Rano Karno yang meraih lebih dari 50 persen suara menurut berbagai lembaga survei.
Jokowi yang aktif turun langsung mendukung kandidat-kandidat yang ia promosikan memunculkan skeptisisme. Tindakan ini dianggap melanggar janji politiknya untuk pensiun dan kembali menjadi rakyat biasa di Solo. Keikutsertaan Jokowi dalam politik praktis ini tidak hanya menunjukkan inkonsistensi, tetapi juga membuka potensi pelanggaran etika politik.
Keterlibatan Jokowi dalam mendukung Ridwan Kamil di Jakarta dan kandidat lainnya memunculkan kritik karena dianggap berorientasi pada melanggengkan dinasti politiknya. Ridwan Kamil dipromosikan untuk menjegal kandidat-kandidat yang dianggap dapat mengancam masa depan politik putranya, Gibran Rakabuming Raka, di Pilpres 2029.
Namun, dukungan Jokowi tidak selalu efektif. Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta cenderung stagnan, bahkan turun, meski Jokowi telah memanfaatkan seluruh sumber daya politiknya.
Keterlibatan Jokowi dalam Pilkada 2024 semakin memperkuat persepsi bahwa ia lebih peduli pada konsolidasi kekuatan politiknya dan keluarganya daripada prinsip demokrasi yang sehat. Kekalahan di Jakarta menjadi pengingat bahwa rakyat masih dapat menolak politik yang manipulatif, meski banyak kandidat Jokowi menang di daerah lain.
Pilkada 2024 juga mengajarkan bahwa intervensi berlebihan dari mantan presiden bisa berujung pada kekalahan, seperti yang terjadi di Jakarta. Kemenangan di beberapa daerah mungkin menjadi kemenangan jangka pendek, tetapi kekalahan tersebut menunjukkan bahwa rakyat tidak selalu tunduk pada oligarki politik.
(*)
Editor: RN Pewarta Repelita