Repelita Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mendapat sorotan tajam terkait kinerjanya dalam menangani kasus-kasus korupsi. Salah satu kasus yang memicu kritik adalah dugaan korupsi terkait pelaksanaan ibadah haji 2024 di Kementerian Agama, yang melibatkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Kasus ini dilaporkan oleh sejumlah kelompok masyarakat, termasuk Ali Syarief, seorang akademisi dan Koordinator Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (Amalan Rakyat). Laporan tersebut mengungkap dugaan adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengalihan kuota haji reguler menjadi haji khusus sebesar 50 persen secara sepihak. Tindakan ini dianggap melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang hanya mengizinkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari total kuota haji Indonesia.
Respons KPK terhadap laporan ini terkesan lambat dan tidak memadai. KPK menyatakan bahwa mereka masih dalam tahap telaah awal untuk memastikan kelengkapan dokumen yang dilaporkan. Tessa Mahardhika, Juru Bicara KPK, menjelaskan bahwa kasus ini baru akan dilanjutkan ke tahap penyelidikan apabila dokumen dianggap lengkap. Hal ini menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat, mengingat KPK memiliki wewenang untuk segera menangani kasus-kasus besar yang berpotensi merugikan negara.
Namun, ini bukanlah insiden pertama yang menimbulkan kritik terhadap KPK. Kasus-kasus lain, seperti dugaan gratifikasi dan korupsi yang melibatkan anak Presiden Joko Widodo, juga belum ada perkembangan yang signifikan meskipun sudah dilaporkan sebelumnya. Hal ini memperlihatkan adanya inkonsistensi dalam penanganan kasus, terutama apabila melibatkan pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Sikap tebang pilih yang ditunjukkan oleh KPK berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, KPK malah dipersepsikan sebagai alat kekuasaan yang hanya menyasar kasus-kasus tertentu. Hal ini tidak hanya melemahkan upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga memberi ruang bagi praktik-praktik korupsi untuk terus berkembang.
Kasus Menteri Agama Yaqut dan laporan-laporan serupa seharusnya menjadi ujian bagi integritas KPK. Jika lembaga ini gagal menunjukkan ketegasan dan keberanian dalam menangani kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, maka pertanyaan besar akan muncul terkait kemampuan KPK untuk menjaga moralitas hukum di Indonesia.
Ali Syarief, yang juga seorang akademisi, mengungkapkan bahwa laporan yang diajukan oleh Amalan Rakyat sudah dilengkapi dengan bukti yang memadai. "Kami memiliki bukti yang jelas untuk mendukung dugaan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji 2024," ujarnya. Menurutnya, KPK seharusnya tidak lamban dalam menangani laporan ini agar tidak menambah keraguan publik terhadap integritas lembaga tersebut.
Publik mengharapkan KPK kembali pada visi awalnya sebagai lembaga yang bebas dari intervensi politik dan bekerja secara independen dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu. KPK perlu menunjukkan transparansi, profesionalisme, dan kecepatan dalam menangani kasus-kasus besar yang sudah dilaporkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Sikap tegas dan konsisten KPK dalam menangani kasus-kasus besar seperti ini akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika KPK terus mempertahankan pola tebang pilih, cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas dari korupsi akan semakin sulit tercapai. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok