Pilkada Jadi Pasar Gelap Politik, Uhaib As'ad Soroti Oligarki dan Korupsi
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia sering kali dianggap sebagai momen penting dalam berdemokrasi. Namun, Dr. Muhammad Uhaib As'ad, seorang dosen Universitas Islam Kalimantan dan pengamat politik, menyoroti fakta bahwa di balik hiruk-pikuk Pilkada sering kali ada praktik yang merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Menurut Uhaib As'ad, Pilkada saat ini bukan lagi sekadar proses daulat rakyat, melainkan telah berubah menjadi arena pasar gelap demokrasi yang dipenuhi oleh "penumpang gelap" dalam permainan politik.
Dalam video yang diunggah di kanal YouTube Bambang Widjojanto, Uhaib As'ad menjelaskan bahwa dinamika politik lokal, khususnya di Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa Pilkada telah menjadi ajang pertemuan kepentingan bisnis dan politik yang saling menguntungkan.
Keberadaan oligarki lokal yang mengendalikan banyak hal, termasuk politik dan ekonomi, menurutnya adalah akar masalah yang menciptakan ketimpangan dalam demokrasi. Uhaib As'ad menyebutkan bahwa Pilkada di Kalimantan Selatan, seperti di daerah lain, telah menjadi arena transaksi politik antara penguasa lokal dan kelompok bisnis.
Pasar gelap demokrasi ini tidak hanya sekadar pertukaran suara, tetapi juga relasi kuasa antara pemilik modal dengan politisi atau calon kepala daerah. Di Kalimantan Selatan, yang dikenal sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di Indonesia, industri tambang yang masif telah menjadi basis bagi membangun patronase politik.
Kelompok-kelompok elit yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan siapa yang memimpin daerah menggunakan sektor tambang sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan serta mengontrol kebijakan yang berkaitan dengan sektor tersebut.
Menurut Uhaib As'ad, ada fenomena "peternakan politik" di mana kelompok-kelompok elit membangun kekuatan politik yang terorganisir di dalam lembaga-lembaga demokrasi. Mereka tidak hanya mengandalkan suara rakyat, tetapi juga menggunakan pengaruh ekonomi untuk "membeli" dukungan dan memastikan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka tetap berjalan.
Pemilihan kepala daerah menjadi lebih tentang siapa yang memiliki akses ke sumber daya ekonomi dan siapa yang bisa memainkan peran di balik layar. Peran oligarki lokal dalam mengendalikan Pilkada juga membuka celah bagi praktik korupsi yang marak di banyak daerah.
Uhaib As'ad mencatat bahwa pola hubungan antara pengusaha dan politisi sering kali berbuntut pada penyalahgunaan kekuasaan. Setelah kepala daerah terpilih, mereka cenderung terjerat dalam kasus korupsi karena keterlibatan mereka dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi dan bisnis.
"Setelah Pilkada, korupsi pun mengintai. Kepentingan bisnis dan politik yang bercampur menjadi bom waktu bagi kepala daerah," ujarnya.
Seiring dengan itu, demokrasi lokal yang semestinya menjadi saluran aspirasi rakyat justru tergerus oleh praktik-praktik transaksional yang merugikan publik. Salah satu fenomena menarik yang juga mencuat adalah adanya praktik saling lapor-melapor di kalangan politisi atau calon kepala daerah.
Fenomena ini terjadi saat proses Pilkada semakin memanas dan di mana para calon serta pendukungnya saling menjatuhkan lawan politik mereka dengan berbagai cara, termasuk dengan melaporkan dugaan pelanggaran hukum atau korupsi.
Uhaib As'ad menutup penjelasannya dengan menekankan bahwa Pilkada di banyak daerah tidak lagi mencerminkan semangat demokrasi yang sejati, melainkan menjadi ladang transaksi politik yang merusak tatanan pemerintahan yang bersih dan adil. (*)