Kunjungan Prabowo ke China: Awal Propaganda Baru untuk Indonesia?
Oleh: Sutoyo Abadi
Koordinator Kajian Politik Merah Putih
Kunjungan Prabowo Subianto ke China pada 31 Maret hingga 2 April 2024, yang menyebutnya sebagai "Elected President", menjadi sinyal bahwa China mulai memainkan peran baru dalam upaya pengaruh terhadap Indonesia. Meskipun kunjungan tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari diplomasi internasional, hal ini memunculkan berbagai spekulasi mengenai agenda tersembunyi China di bawah kendali Xi Jinping.
Kunjungan kenegaraan resmi Prabowo ke China pada 8 hingga 10 November 2024 semakin memperkuat dugaan bahwa Beijing berharap Prabowo dapat menjadi sosok yang mengalihkan jalannya pemerintahan Indonesia ke arah yang lebih pro-China. Dalam hal ini, terdapat kecemasan bahwa Indonesia akan terjebak dalam pengaruh besar China yang berpotensi mengancam kedaulatan negara.
China berharap agar Prabowo Subianto bisa menjadi penerus kepemimpinan yang mendukung kepentingan mereka. Oligarki dan pemerintah China sangat khawatir apabila Prabowo mengubah sikapnya, yang bisa mengancam stabilitas kekuasaan oligarki Indonesia dan pengaruh China. Untuk itu, Prabowo dianggap sebagai sosok kunci yang harus didukung agar Indonesia tetap berada dalam kendali Beijing.
Ratusan tahun kemudian, jika pengaruh ini terus berlanjut, Indonesia bisa terperosok dalam situasi di mana kekayaan alam Indonesia dieksploitasi oleh China, sementara rakyat Indonesia hanya menjadi budak yang melayani kepentingan asing.
Xi Jinping sudah memasang target dalam hubungan diplomatik dengan Indonesia. Beberapa proyek strategis yang harus diwujudkan oleh Prabowo sebagai Presiden meliputi:
- Oligarki Indonesia harus tetap berperan dalam kebijakan politik dan ekonomi negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China harus terlindungi, tanpa gangguan dari hukum atau masyarakat Indonesia.
- Proyek-proyek oligarki yang dilindungi oleh Program Strategis Nasional (PSN), seperti proyek reklamasi dan PIK, harus dilaksanakan tanpa hambatan.
- Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) harus terus berlanjut, untuk mendukung kontrol atas Jakarta dan kawasan aglomerasi sekitarnya.
- Oligarki bebas menguasai sumber daya alam Indonesia, terutama di sektor pertambangan.
- Pembangunan pangkalan militer di wilayah Indonesia, seperti yang diduga di Pulau Triton di Kepulauan Paracel, tidak boleh terganggu.
Namun, pemerintah Indonesia, termasuk aparat sipil, kepolisian, dan militer, tampaknya masih terjebak dalam pengaruh luar negeri, bahkan dalam ancaman terhadap kedaulatan negara. Pemerintah terkesan lebih memprioritaskan kepentingan oligarki, sehingga rakyat harus berhadapan dengan aparat yang diduga menjadi boneka kekuasaan.
Isu mengenai aneksasi wilayah, seperti yang terjadi pada proyek PIK 1 dan 2, semakin menggoyahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keadaan ini semakin rumit karena Presiden Prabowo belum menunjukkan sikap tegas yang jelas terhadap pengaruh asing ini.
Apakah Prabowo akan menjadi pemimpin yang bertindak sebagai negarawan yang menjaga kedaulatan Indonesia atau justru tunduk pada tekanan pihak-pihak tertentu, hanya waktu yang akan membuktikan.(*)