Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai keterpilihan personil komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 sebagai gambaran buruk bagi perkembangan independensi penegakan hukum pemberantasan korupsi.
"Bagaimana tidak? Para personel komisioner lembaga anti-rasuah itu terpilih justru berasal dari latar belakang aparatur penegak hukum pemerintahan, yang menjadi dasar pertimbangan (konsiderasi UU) dilahirkannya KPK, yaitu lemah dan tidak objektifnya aparatur penegak hukum pemerintahan dalam pemberantasan korupsi, seperti Kepolisian dan Kejaksaan," kata Abdul Fickar saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jumat (22/11/2024).
Fickar menilai upaya Komisi III DPR menunjuk lima komisioner KPK dari unsur aparat hukum ini membangun prasangka bahwa hal ini merupakan bagian dari pelemahan KPK.
"Dengan hasil pilihan ini, Komisi III DPR sengaja membiarkan fakta sejarah ini. Ini juga membangun prasangka bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK," jelasnya.
Menurutnya, dengan terpilihnya para personel tersebut, KPK kini menjadi lembaga bagian dari kekuasaan, karena secara sistemik KPK berada di ranah eksekutif yang diisi oleh personel-personel yang berasal dari kekuasaan eksekutif.
Di sisi lain, Abdul Fickar menyoroti rapat Komisi III DPR RI yang sudah diskors pada Kamis (21/11/2024) siang, namun tidak ada pimpinan atau anggota Komisi III yang meninggalkan ruangan tempat mereka bersidang.
Beberapa di antaranya sempat membuka aplikasi percakapan di ponsel, melihat catatan, dan saling berkirim sejumlah nama yang akan dipilih dalam pemungutan suara pemilihan pimpinan KPK periode 2024–2029.
Abdul Fickar mengklaim pemilihan ini sebagai "basa-basi seleksi," karena mereka sudah memberikan daftar rekam jejak calon-calon pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK yang bermasalah.
"Peringatan ini diabaikan DPR. Ada apa dengan mereka?" katanya.
Fickar menambahkan bahwa empat dari lima pimpinan terpilih KPK merupakan penegak hukum, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun. Mereka adalah Komjen Setyo Budiyanto (polisi) sebagai Ketua, serta Fitroh Rohcahyanto (jaksa), Johanis Tanak (pensiunan jaksa), Ibnu Basuki Widodo (hakim), dan Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua BPK).
Jika mereka hanya mundur dari jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, kata Fickar, ada kemungkinan mereka tetap memiliki loyalitas ganda.
"Maka, setiap tindakan yang mereka ambil berpotensi bias terhadap kepentingan institusi asal," tukasnya.
Komisi III DPR RI telah menetapkan lima orang yang terpilih sebagai pimpinan KPK. Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Setyo Budiyanto dipilih sebagai ketua KPK periode 2024-2029 setelah mendapatkan 45 suara.
Penetapan lima pimpinan dan lima orang Dewan Pengawas KPK terpilih dilakukan di ruang Komisi III DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2024). Penetapan ini dihadiri sebanyak 44 orang dari 47 Komisi III DPR RI dan seluruh delapan fraksi hadir.
Lima pimpinan KPK yang terpilih melalui pemungutan suara atau voting tersebut adalah Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Setyo Budiyanto, Agus Joko Pramono, dan Ibnu Basuki Widodo.
Setyo Budiyanto adalah perwira tinggi kepolisian yang saat ini menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian.
Adapun Fitroh dan Tanak berasal dari Kejaksaan Agung. Fitroh pernah menjabat Direktur Penuntutan KPK, namun kembali ke Kejaksaan Agung pada 2023. Tanak masih menjabat Wakil Ketua KPK periode 2019-2024.
Sementara itu, Ibnu Basuki adalah seorang Hakim Tinggi Pemilih Perkara di Mahkamah Agung. Ia pernah menjabat hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Figur Ibnu menjadi kontroversial ketika ia memvonis bebas Ida Bagus Mahendra Jaya Martha, terdakwa korupsi pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama tahun anggaran 2010, pada Oktober 2014.
Terakhir, Agus Joko Pramono merupakan mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga seorang guru besar Ilmu Akuntansi di Universitas Jenderal Soedirman.
Lakso menilai sebagian dari lima nama itu merupakan figur yang bermasalah, seperti Johanis Tanak yang beberapa kali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena diduga melanggar kode etik.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan bahwa proses pemilihan pimpinan KPK berlangsung secara demokratis dan transparan. Ia mengklaim nama-nama yang dinyatakan terpilih merupakan pilihan setiap anggota DPR tanpa adanya intervensi.
"Karena itu pilihan pribadi orang per orang, hasilnya bisa dilihat, dan kita tidak bisa memaksa masing-masing anggota menyampaikan pilihannya seperti apa karena dipilih secara tertutup," kata Habiburokhman setelah menetapkan lima pimpinan KPK periode 2024-2029.
Habiburokhman enggan menanggapi soal komposisi pimpinan KPK terpilih yang didominasi oleh sosok berlatar belakang aparat penegak hukum. Dari lima nama pimpinan tersebut juga tidak ada perwakilan perempuan dan masyarakat sipil.(*)