KPK Ungkap Dugaan Monopoli dalam Pengadaan APD COVID-19, Negara Rugi Rp319 Miliar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya dugaan monopoli dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) saat pandemi COVID-19 yang merugikan negara hingga Rp319 miliar.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menjelaskan dalam konferensi pers pada Jumat (1/11/2024) bahwa dugaan monopoli ini melibatkan perusahaan swasta yang bekerja sama dalam penguasaan pasar APD. Ghufron mengungkapkan, para tersangka yang terlibat adalah Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik; Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI), Satrio Wibowo; dan mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Budi Sylvana. Ketiganya telah ditahan atas tuduhan korupsi terkait pengadaan APD.
Menurut Ghufron, sejumlah perusahaan yang menjadi produsen atau distributor APD diduga bekerja sama untuk memonopoli pasar. Perusahaan yang terlibat antara lain PT PPM, PT EKI, dan PT Yoon Shin Jaya (YS) milik Shin Dong Keun, yang diduga melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dugaan ini melanggar Pasal 4 Undang-Undang No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli.
Selain dugaan monopoli, KPK menemukan beberapa pelanggaran lain, termasuk ketidaksesuaian izin dan dokumentasi dalam rantai distribusi. PT EKI dan PT YS, misalnya, tidak memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK) tetapi tetap terlibat dalam pengadaan APD. Ghufron menambahkan bahwa PT EKI tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam pengadaan APD, tetapi tetap ditunjuk sebagai penyedia.
Pada konferensi pers sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa kerugian negara yang mencapai Rp319 miliar berasal dari audit bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dana pengadaan APD bersumber dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam prosesnya, KPK menemukan adanya dugaan mark-up harga, di mana harga APD meningkat setelah keterlibatan PT EKI.
Asep menyebutkan bahwa seharusnya harga pengadaan APD lebih rendah jika Kemenkes langsung bekerja sama dengan PT PPM tanpa melibatkan PT EKI. Dalam kerja sama ini, PT PPM awalnya menjual APD ke Kemenkes dengan harga Rp379.500 per set. Namun, setelah PT EKI dilibatkan, harga naik hampir dua kali lipat menjadi sekitar Rp700.000 per set setelah negosiasi. Meski telah dinegosiasikan kembali, harga ini tetap jauh lebih tinggi daripada harga awal yang disepakati antara Kemenkes dan PT PPM.
Selain itu, proses pengadaan APD yang dilakukan oleh pemerintah selama awal pandemi diduga tidak dilengkapi dengan dokumentasi yang memadai. Dalam pengambilannya, APD yang didistribusikan ke 10 provinsi langsung diambil oleh TNI tanpa disertai bukti pendukung atau surat pemesanan.
Asep juga mengungkapkan bahwa hasil audit BPKP menunjukkan adanya perbedaan harga yang signifikan, yang menyebabkan kerugian negara. Proses penelusuran aliran dana dari pengadaan ini akan terus dilakukan untuk mengidentifikasi kerugian negara lebih lanjut.
KPK memastikan bahwa penyidikan terhadap kasus ini akan diperluas untuk mengetahui aliran dana dan keterlibatan pihak-pihak lain dalam pengadaan APD yang merugikan negara.(*)