Dr. Syahganda Nainggolan, seorang tokoh politik dan analis, mengungkapkan bahwa selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Habib Rizieq Shihab (HRS) dianggap sebagai musuh utama Jokowi. Dalam sebuah pertemuan beberapa tahun lalu setelah dirinya keluar dari penjara, Dr. Nainggolan menyebutkan bahwa HRS menjadi figur yang selalu berseberangan dengan Jokowi dalam berbagai aspek politik.
Menurut Dr. Nainggolan, hal ini menjadi alasan mengapa Prabowo Subianto tidak pernah menemui Habib Rizieq saat dirinya berada di penjara. Ia menjelaskan bahwa selama Jokowi berkuasa, Prabowo tidak bisa memiliki kedekatan dengan HRS karena dianggap berseberangan dengan Presiden. Pernyataan ini menunjukkan betapa ketegangan politik antara tokoh-tokoh besar tersebut sangat mempengaruhi hubungan antar mereka dalam konteks pemerintahan Jokowi.
Dr. Nainggolan juga mengingatkan bahwa sejarah politik Indonesia sering kali dilupakan atau terdistorsi oleh opini sesaat. Ia mengkritik narasi yang beredar saat ini, yang menggambarkan seolah-olah Habib Rizieq mendukung Ridwan Kamil (RK), calon Gubernur DKI Jakarta yang didukung oleh Jokowi. Dr. Nainggolan menganggap bahwa dukungan politik yang diberikan oleh HRS kepada RK tidak berarti bahwa ia mengabaikan sejarah hubungan buruknya dengan Jokowi.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, Dr. Nainggolan menilai ada upaya untuk memanipulasi opini publik dengan menggambarkan PDI Perjuangan (PDIP) sebagai "musuh utama Jokowi." Menurutnya, narasi ini dibuat untuk menarik dukungan dari kelompok oposisi terhadap Jokowi, dengan tujuan memenangkan calon-calon yang diusung oleh PDIP. Hal ini, menurut Dr. Nainggolan, tidak dapat dipisahkan dari permainan politik yang lebih besar yang melibatkan berbagai partai dan tokoh penting di Indonesia.
Lebih lanjut, Dr. Nainggolan juga menekankan bahwa hubungan antara Jokowi dan PDIP tidak bisa dipisahkan. Ia menjelaskan bahwa sejak 2005, ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, hingga saat ini, Jokowi dan PDIP selalu berjalan bersama. Namun, dalam babak baru setelah Oktober 2024, dengan Prabowo Subianto yang kini memegang kekuasaan, Dr. Nainggolan menyebutkan bahwa kekuatan politik Jokowi kini jauh berkurang.
Pernyataan Dr. Nainggolan juga menyoroti kenyataan bahwa dalam Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil, yang memiliki elektabilitas tinggi di Jawa Barat, akhirnya memilih untuk maju setelah mendapatkan dukungan dari Golkar dan Gerindra, bukan Jokowi. Ia menegaskan bahwa peran Jokowi dalam penempatan RK di Jakarta sangat minim, dan itu lebih merupakan hasil dari negosiasi antara Golkar dan Gerindra.
Menurut Dr. Nainggolan, dalam babak baru politik Indonesia, perlu ada pemisahan antara kebencian terhadap Jokowi dengan kebencian terhadap Ridwan Kamil. Ia berpendapat bahwa meskipun Jokowi memiliki pengaruh, terutama dalam dukungan terhadap anak dan menantunya, saat ini kekuasaan politik Prabowo lebih dominan.
Sebagai penutup, Dr. Nainggolan mengingatkan bahwa sejarah politik tidak dapat diputarbalikkan dan bahwa masyarakat harus memahami dengan jelas bahwa pilihan dalam Pilkada Jakarta saat ini bukan hanya tentang Jokowi, tetapi juga tentang kekuatan politik baru yang muncul. Dalam demokrasi, keputusan politik harus didasarkan pada kepentingan bangsa dan bukan pada kebencian terhadap individu atau partai tertentu. ***