PKS Dianggap Berisiko Menjadi Partai Residual, Solusi untuk Kembali Membangun Dukungan
28 November 2024 – Pengamat hukum dan Mujahid 212, Damai Hari Lubis, mengungkapkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berisiko menjadi "partai residu" atau partai kumpulan sampah menjelang Pemilu 2029 jika tidak segera memperbaiki arah politiknya. Lubis menilai salah satu penyebab potensi kemunduran PKS adalah langkah politik yang keliru, yakni mendukung Ridwan Kamil yang diendorse oleh Presiden Joko Widodo, namun justru meninggalkan Anies Baswedan menjelang Pilkada 2024.
Menurut Lubis, keputusan ini mengakibatkan suara pasangan Pramono Anung-Rano Karno mengalahkan Ridwan Kamil, yang sebelumnya menjadi idola PKS. Sebagai upaya untuk kembali membangun kepercayaan dan dukungan dari para simpatisannya, Lubis memberikan sejumlah solusi konkret.
"PKS harus mengambil langkah strategis untuk kembali mendapatkan simpati masyarakat," ujar Lubis. Dia mengusulkan empat langkah yang bisa dilakukan oleh PKS untuk membangun kembali soliditas partai:
- Mengganti seluruh Dewan Syura dan pengurus DPP.
- Mendukung gerakan masyarakat yang rasional, seperti mendukung Adli Jokowi dan mencopot Gibran dari kursi Wakil Presiden, berdasarkan data empirik yang ada.
- Mendorong Presiden Prabowo untuk mencopot menteri-menteri yang terpapar kasus korupsi.
- Menggerakkan simpatisan turun ke jalan dengan menggunakan atribut partai, untuk mendesak agar aparat hukum membuka kembali kasus-kasus besar, seperti unlawful killing KM 50 dan menginvestigasi kematian misterius 894 anggota KPPS.
Lubis percaya bahwa dengan menerapkan metode "populisme" yang melibatkan aksi riil ini, PKS dapat memperbaiki citra dan meraih kembali dukungan dari masyarakat. Jika tidak, ia memperingatkan bahwa simpatisan PKS bisa beralih ke partai lain, termasuk Partai Gelora, yang berpotensi memanfaatkan kondisi internal PKS yang sedang runyam.
Sebagai alternatif, menurut Lubis, PDIP juga bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik perhatian simpatisan PKS dengan mengambil langkah-langkah populis yang serupa. (*)