Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Tuak hingga Wine yang Bersertifikat Halal Ternyata Dikeluarkan Kemenag, Begini Penjelasan BPJPH

  Sejumlah produk dengan nama tuak, tuyul, hingga beer yang viral ternyata sertifikat halalnya dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag). Menanggapi hal itu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) angkat suara.

BPJPH mengatakan persoalan itu sebenarnya hanya namanya saja. Soal produknya, BPJH menjamin sesuai dengan proses sertifikasi halal.

Ia meminta masyarakat tak perlu ragu pada produk yang telah bersertifikat halal. Jika sertifikatnya sudah ada, mereka menjamin produknya halal.

"Pertama, harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya," kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/10/2024).

"Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku," kata Mamat.

Ia menjelaaskan sudah ada regulasi yang mengatur terkait penamaan produk halal melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. 

Selain itu, juga terdapat aturan Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat.

"Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal. Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait penamaan produk. Hal ini dibuktikan dengan data kami di Sihalal,"ujarnya.

Ia memberi contoh, produk dengan menggunakan kata 'wine' yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.

Contoh lainnya, produk dengan nama menggunakan kata 'beer' yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 8 produk. Dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.

"Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain," ujar Mamat.

Data tersebut, kata dia menunjukkan fakta adanya perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Perbedaan itu pun sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu saja, tetapi tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.

Produk itu sebelumnya viral di media sosial setelah sebuah video yang menunjukkan produk terebut tersebar di media sosial. Hal itu ditangapi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan pihaknya sudah mengonfirmasi, mengklarifikasi, dan mengecek hal itu. Hasiknya, sertifikat halal itu dikeluarkan BPJPH Kementerian Agama.

"Produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI," kata Asroun dikutip dari JPNN, Rabu (2/10/2024).

Ia mengatakan nama-nama produk tersebut tidak dibenarkan sesuai standar fatwa MUI. Karenanya, ia mengatakan pihaknya tak bertanggung jawab terkait produk itu.

"Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," ujar Asrorun.

Dia menjelaskan diperoleh informasi bahwa produk tersebut valid, punya bukti jelas terpampang dalam situs BPJPH dan diarsipkan oleh pelapor.

Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH seperti dikutip dari fajar

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan.

Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan,” jelasnya.

Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol.

Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi (‘urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.

Atas dasar itu, Pengasuh Pesantren Al-Nahdlah ini mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal.

Kiai Niam juga menegaskan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.

“MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an,” tegas Niam yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan, karena itu harus hati-hati sekali.

“Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui self declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi stadar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal,” ujarnya.

Yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, yang ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah dan Asrorun Niam Sholeh sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memuat ketentuan bahwa di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah;

a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;

b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:

1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan

2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut.

3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum

c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya

d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama

e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan

f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.***

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved