Nilai uang tunjangan rumah dinas atau rumah jabatan bagi DPR Periode 2024-2029 sekitar Rp 50 juta per bulan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan kalkulasi dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun.
"Hasilnya, total anggaran yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun," kata Peneliti ICW Peneliti ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/10/2024).
Seira mengatakan, apabila ketentuan ini diteruskan, ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Pemborosan anggaran didapat ICW dengan membandingkan antara pola belanja untuk pengelolaan Rumah Jabatan Anggota (RJA) pada periode 2019-2024 dengan penghitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR selama satu periode
"Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik," ujarnya.
Seira mengatakan, ICW menelusuri belanja pengadaan oleh Sekretariat Jenderal DPR melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Kemudian menelusuri pengadaan DPR menggunakan sejumlah kata kunci yakni Rumah Jabatan Anggota, RJA, Kalibata, dan Ulujami pada periode 2019-2024.
Hasilnya, kata dia, terdapat 27 paket pengadaan dengan total kontrak senilai Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya dilakukan pada tahun 2024 untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar.
"Hal ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota DPR dapat menempati RJA," tuturnya.
Selain itu, Seira mengatakan, peralihan dari pemberian rumah fisik menjadi tunjangan, akan sulit mengawasi penggunaan tunjangan tersebut untuk kebutuhan yang sesuai.
Terlebih, kata dia, tunjangan tersebut ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan.
"Minimnya akses pengawasan ini pada akhirnya tak hanya berdampak pada pemborosan anggaran tetapi juga potensi penyalahgunaan," kata dia.
Berdasarkan hal tersebut, ia mendesak Sekretaris Jenderal DPR mencabut surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang salah satu poinnya berkaitan dengan pemberian tunjangan perumahan DPR.
"Anggota DPR tetap menggunakan RJA tanpa adanya pemberian tunjangan perumahan. Sekretaris Jenderal DPR melakukan perbaikan terhadap rumah yang rusak disertai dengan proses pengadaan yang transparan dan akuntabel," ucap dia.
Diketahui, anggota DPR RI periode 2024–2029 tidak lagi akan mendapatkan fasilitas rumah dinas.
Tetapi, diganti dengan uang tunjangan rumah dinas atau rumah jabatan yang besarannya sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar mengatakan, perumahan akan dimasukkan dalam komponen gaji anggota DPR, sehingga akan diberikan setiap bulan.
Para anggota DPR juga diberikan keleluasaan dalam menggunakan tunjangan tersebut.
"Itu terserah, pokoknya masuk dalam komponen-komponen nanti, tunjangan bulanan. Mau sewa, mau beli, dia punya uang mukanya dari sendiri, atau dia punya rumah di seputar Jabodabek, itu kan hak masing-masing," kata Indra saat dikonfirmasi pada 3 Oktober 2024.
Dia pun menjelaskan bahwa keputusan ini diambil karena RJA yang tersedia saat ini sudah tua dan sering mengalami kerusakan seperti dikutip dari kompas
Prabowo Harus Respons Serius Dugaan Korupsi Penganggaran di Setjen DPR
Peralihan pemberian rumah dinas anggota DPR periode 2024-2029 menjadi tunjangan harus menjadi perhatian serius Presiden terpilih Prabowo Subianto, karena terindikasi ada unsur korupsi.
Sebab dalam berbagai kesempatan, Prabowo menegaskan bahwa tidak akan memberikan toleransi terhadap perilaku korupsi di pemerintahannya nanti.
"Kalau Prabowo benar-benar keras sebagaimana statemennya yang anti korupsi, ia perlu mendesak pihak terkait untuk mengusut penganggaran di Setjen DPR," kat Analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Dedi Kurnia Syah kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Minggu (13/10).
Oleh sebab itu, Dedi meminta Prabowo mengusut adanya dugaan korupsi rumah dinas DPR yang kini berubah menjadi tunjangan.
Adanya tunjangan untuk rumah kepada anggota dewan juga dianggap kurang tepat. Lantaran mayoritas anggota dewan periode ini memiliki rumah pribadi di Jakarta.
"Periode lalu, lebih banyak anggota DPR yang tidak tinggal di rumah dinas, cek saja. Anggota DPR yang jauh saja, misal dari Papua, Sumatera, rata-rata sudah punya rumah di Jakarta," tutup Dedi.***