Kejaksaan Agung Tetapkan Tom Lembong dan DS Sebagai Tersangka Korupsi Impor Gula
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tomas Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, DS, sebagai tersangka dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi impor gula periode tahun 2015-2016.
Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun tersebut, Tom Lembong diduga korupsi yang merugikan negara kurang lebih Rp 400 miliar.
Tom Lembong kini ditahan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Penahanan Tom Lembong diumumkan secara resmi oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, pada Selasa, (29/10/2024).
Penetapan tersangka Tom Lembong menjadi pelecut bagi Kejagung untuk berani menetapkan menteri lainnya sebagai tersangka atas sejumlah kasus. Misalnya, Kejagung telah memeriksa Menko Airlangga Hartarto dan Menpora Dito sebelum penetapan Tom Lembong sebagai tersangka.
Sementara Menteri Zulkifli Hasan juga dikaitkan dengan kasus suap alih fungsi hutan di Riau. Kasus yang menjerat Zulkifli Hasan terjadi saat dia menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kasusnya terkait suap pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit di Riau pada 2014. Kasus itu sebelumnya menjerat bekas gubernur Riau, Annas Maamun.
Nama Zulkifli Hasan sudah disebut-sebut sejak awal kasus alih fungsi hutan itu bergulir. Terpidana kasus itu, Annas Maamun, beberapa kali menyebut namanya sejak pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014 lalu.
Annas mengaku menitipkan permohonan alih status hutan Riau kepada Zulkifli. Di lain kesempatan, dia juga menyatakan bahwa Zulkifli adalah pejabat yang menyetujui revisi izin alih fungsi hutan Riau pada 2014.
Dalam persidangan Annas yang digelar pada April 2015, Zulkifli dihadirkan sebagai saksi. Saat itu, Jaksa Penuntut Umum mencecarnya dengan berbagai pertanyaan mengenai terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673 tahun 2014 tentang tata ruang di Provinsi Riau.
Ketua Umum PAN itu mengaku menandatangani surat keputusan tersebut berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau yang diajukan pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Alasannya menerbitkan Surat Keputusan itu adalah karena sudah lebih dari 20 tahun tata ruang Provinsi Riau tidak kunjung selesai.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis kepada Annas hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan Annas terbukti menerima suap dari pengusaha Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut.
Gulat dan Edison meminta area kebun sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas 1.188 hektare, Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.124 hektare, serta Duri di Kabupaten Bengkalis seluas 120 hektare untuk masuk ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Annas juga terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp 500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksanaan proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau. Namun, dakwaan ketiga yang mendakwa Annas telah menerima uang Rp 3 miliar untuk melicinkan lokasi perkebunan di empat perusahaan di Kabupaten Indragiri Hulu dianggap tidak terbukti. Hukuman Annas kemudian diperberat menjadi 7 tahun penjara di tingkat kasasi.
Kasus BTS
Nama Menpora Dito Ariotedjo disebut hakim saat membacakan aliran uang kasus korupsi BTS Kominfo di sidang putusan mantan Menkominfo Johnny G Plate dkk pada Oktober 2023.
Dalam sidang putusan kasus korupsi proyek BTS 4G Kominfo, dengan terdakwa mantan Menkominfo Johnny G Plate, eks Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif, dan tenaga ahli Hudev UI Yohan Suryanto, hakim turut menyebut soal aliran duit terkait kasus BTS ini ke Dito Ariotedjo hingga Komisi I DPR.
Hakim ketua Fahzal Hendri mengatakan majelis hakim menggali soal aliran duit terkait proyek BTS dengan berbagai alasan, termasuk ucapan terima kasih, bantuan, hingga commitment fee. Hakim lalu menyebutkan rincian aliran duit terkait proyek BTS kepada sejumlah pihak.
Dia mengatakan uang itu mengalir ke BPK senilai Rp 40 miliar. Belakangan, Kejagung telah menetapkan anggota BPK Achsanul Qosasi sebagai tersangka karena diduga menerima duit Rp 40 miliar tersebut.
Uang terkait proyek BTS juga mengalir ke Dito Ariotedjo. Uang itu diserahkan oleh terdakwa Direktur PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan, senilai Rp 27 miliar. Dito sudah pernah diperiksa di persidangan terkait uang tersebut. Dia mengaku tak pernah menerima duit tersebut.
"Bahwa pada November, Desember 2022, bertempat di rumah Dito Ariotedjo, Irwan Hermawan menyerahkan uang kepada Dito Ariotedjo sebesar Rp 27 miliar untuk tujuan penghentian proses penegakan hukum terhadap proyek pembangunan BTS 4G tahun 2021-2022," ujarnya.
Sebagai informasi, majelis hakim menyatakan Johnny G Plate, Anang Achmad Latif, dan Yohan Suryanto terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek BTS 4G Kominfo. Plate divonis 15 tahun penjara, Anang divonis 18 tahun penjara, dan Yohan divonis 5 tahun penjara.
Sementara itu, nama Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat santer disebut dalam penyidikan dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya periode 2021-2022.
Kasus ini dibuka lagi penyidik Kejagung setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis lima orang terdakwa dalam perkara ini dengan hukuman 5-8 tahun. Vonis ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tingkat kasasi.
Majelis hakim menyatakan pihak yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi atau tempat di mana para terpidana bekerja. Oleh karena itu, kata hakim, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.
Kasus ini merugikan negara sebesar Rp 6,47 triliun. Selain itu, perbuatan para terpidana menimbulkan dampak signifikan, yaitu menyebabkan kemahalan dan kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat khususnya terhadap komoditi minyak goreng.
Penyidik mulai menggali peran Airlangga dan Lutfi dalam pemeriksaan Lin Che Wei pada 13 Juni 2022. Berdasarkan fakta persidangan itu, Kejagung pada Senin (24/7/2023) memeriksa Airlangga.
Adapun nama Airlangga ikut terseret lewat Lin Che Wei yang merupakan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Dalam tim itu, Lin Che Wei mengurusi bidang pangan dan pertanian sehingga ia turut mengurus kelangkaan minyak goreng sebagai produk turunan kelapa sawit.
Menurut para penyidik di Kejagung, para terdakwa korupsi minyak goreng, termasuk Lin Che Wei, berulang kali menyebut nama Airlangga Hartarto dan mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang berperan besar dalam membuat kebijakan penanganan kelangkaan minyak goreng.
Dalam sebuah pemeriksaan, Lin Che Wei mengaku kerap berkomunikasi dengan Airlangga mengenai persoalan minyak goreng. Pada 27 Januari 2022, misalnya, dia diminta Airlangga membuat presentasi implementasi distribusi minyak goreng serta penghitungan kebutuhan dana BPDPKS.
Lin Che Wei juga mengaku menghadiri berbagai rapat bersama Komite Pengarah BPDPKS yang dipimpin Airlangga. Rapat itu mengundang narasumber utama BPDPKS pada periode Januari hingga awal Februari 2022.
Narasumber utama BPDPKS terdiri atas empat pengusaha kelapa sawit, yakni Franky Oesman Widjaja dari Sinar Mas Group; Martias Fangiono dari First Resources; Martua Sitorus, pendiri Wilmar Group; dan Arif Patrick Rahmat dari PT Triputra Agro Persada. Dalam rapat itu, Airlangga memimpin keputusan menyalurkan Rp 7 triliun subsidi minyak goreng dari dana BPDPKS.
Penyidik Kejaksaan Agung menyebut Lin Che Wei sebagai penghubung pengusaha.(*)