Pajak Pertambahan Nilai atau PPN di Indonesia akan naik jadi 12 persen dari 11 persen. Hal itu menuai kritik dari kalangan ekonom.
Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar Sutardjo Tui mengatakan, kenaikan PPN itu bukan lagi untuk menambah penghasilan negara. Tapi cara merampok rakyat.
“Bagi saya itu perampokan terhadap rakyat,” tegasnya kepada fajar.co.id, Senin (14/10/2024).
Ia menilai kebijakan menaikkan PPN yang diklaim bisa menambah penghasilan negara tidak tepat. Itu hanya jalan pintas.
“Jalan lintas itu meningkatkan pendapatan negara dengan menaikkan pajak,” terangnya.
Padahal, kata dia, efisiensi bisa dilakukan jika ingin mengoptimalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tanpa harus menaikkan pajak.
“Itu bukan menambah pemasukan, tapi meras rakyat. Kalau menambah pemasukan kan efisiensi banyak sekali,” jelasnya.
Sutardjo memberi contoh, misalnya anggaran perjalanan keluar negeri yang tak perlu dan pertemuan di hotel. Hal tersebut dinilainya bisa dikurangi untuk efisiensi.
“Kalau mau efisiensi anggaran jangan dong pajaknya ditingkatkan, tapi kurang biaya misalnya pertemuan luar negeri. Misalnya provinsi, kabupten pertemuan di hitel tapi di kantornya ada aula. Tidak masuk akal,” imbuhnya.
Selain itu, kata Sutardjo, negara punya perusahaan plat merah. Yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Bagaimana perannya BUMN, lebih bagus ke situ. Tapi tidak kan. Artinya apa, memeras rakyat,” pungkasnya.