Pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) menuai pro dan kontra, dengan sebagian publik menganggap tindakan ini sebagai langkah anti-kritis yang bertentangan dengan karakter dasar mahasiswa.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa peran BEM sebagai suara kritis kampus seharusnya dihargai, bukan dibungkam, karena kreativitas dan kritik mereka bisa menjadi cerminan keresahan masyarakat.
“Masuk akal jika BEM tetap memelihara akal sehat untuk memantau, mengintai, dan bahkan, dalam tanda kutip, mengolok-olok,” ungkapnya dilansir dari Youtube pribadinya.
“Ini karena masih ada beban bagi BEM, yaitu bahwa Gibran dianggap tidak pantas, yang sudah menjadi keputusan politik pemerintah. Namun, bagi BEM, ini adalah masalah yang masih menggantung,” sambungnya.
Rocky Gerung menegaskan bahwa mahasiswa secara historis memiliki peran unik dalam memproduksi kritik terhadap penguasa melalui ekspresi seni atau aksi kontroversial.
“Jika kita kembali pada soal BEM, memang ada tradisi untuk mengolok-olok. BEM bukanlah tempat berdoa atau berkhotbah, BEM adalah tempat untuk memproduksi kreativitas seni yang dapat memicu perhatian publik, terutama perhatian dari kekuasaan,” ujarnya.
Pembatasan terhadap ekspresi BEM, apalagi sampai membekukannya, hanya akan membuat kritik ini semakin viral di media sosial dan menjadi bahan pembicaraan publik.
“Mungkin memang terkesan kasar, tetapi semua hal yang ingin diungkapkan harus ditampilkan dalam bentuk yang jelas, bahkan jika itu kontroversial,” tegas Rocky Gerung.
Aksi pembekuan justru dapat menciptakan efek berlawanan yang tidak produktif bagi kampus dan pemerintah, seolah ada upaya mengendalikan pemikiran mahasiswa, padahal mereka didorong untuk berpikir mandiri dan kritis.
Menurut Rocky Gerung, dalam konteks perubahan kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo, munculnya kritik terhadap figur politik baru dari keluarga mantan Presiden Jokowi adalah hal yang wajar.
Kritik mahasiswa terhadap kehadiran Gibran di kabinet juga mencerminkan keresahan publik yang belum mendapatkan jawaban memuaskan dari skandal fufufafa yang diduga miliknya.
Kritik ini dinilai Rocky Gerung sebagai upaya mahasiswa untuk memastikan bahwa peran mereka sebagai pengawas tetap terjaga, bahkan di tengah upaya pendisiplinan yang ketat di bawah pemerintah baru.
Rocky Gerung juga mengungkapkan bahwa aksi pembekuan BEM seolah menunjukkan ketidakpahaman pimpinan kampus terhadap dinamika jaringan mahasiswa.
Di era digital, sekali kritik tersampaikan di media sosial, dampaknya akan lebih luas dan cepat, seperti yang terjadi pada berbagai platform daring saat ini.
Efek viral dari kritik ini bahkan bisa menciptakan solidaritas antar-BEM di berbagai kampus, memperkuat jaringan bawah tanah yang lebih sulit dikendalikan.
Rocky Gerung menilai pembekuan BEM di Unair dianggap tidak efektif dan justru mempertegas sikap mahasiswa yang semakin kritis terhadap perubahan politik yang terjadi di Indonesia.(*)