Bandung, 31 Oktober 2024 - Kejutan hukum pertama di era Prabowo adalah penetapan status tersangka Tom Lembong oleh Kejaksaan Agung.
Ia dituduh merugikan negara hingga 400 miliar akibat kebijakan impor gula.
Publik menilai bahwa pada rezim Prabowo, hukum masih dijadikan alat untuk kepentingan politik.
Peristiwanya terjadi saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada 2015-2016.
Kecuali untuk Menteri Perdagangan sebelumnya, Gita Wirjawan, semua menteri perdagangan mengambil kebijakan impor gula dengan tonase yang jauh lebih besar.
Thomas Trikasih Lembong ditahan bersama Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Apakah penetapan status tersangka Tom Lembong murni bersifat hukum atau politis, itu akan terlihat dalam edisi lanjutan dari kerja Kejaksaan Agung.
Kita tidak dapat terpaku pada bantahan Kejaksaan Agung.
Jika penetapan status tersangka dan penahanan Tom Lembong bertujuan untuk menghalangi Anies Baswedan maju dalam Pilpres 2029, maka aspek politisnya sangat kuat.
Hal ini mengingat peran Lembong yang signifikan dalam menyukseskan Anies.
Rumor mengenai Gibran Rakabuming Raka yang diusung sebagai calon presiden terus beredar.
Anies diperkirakan akan menjadi lawan berat yang sulit dikalahkan, terutama oleh Gibran yang masih muda.
Penetapan tersangka Tom Lembong sangat bernilai politis jika kelanjutannya Anies atau orang dekatnya menjadi target pemeriksaan.
Jokowi masih tampak sebagai pengendali rezim Prabowo.
Meskipun jagoan Prabowo tampil hebat di hadapan publik, faktanya ia tetap berada di bawah Jokowi.
Jika penetapan dan penahanan Tom Lembong itu murni berdasarkan hukum, maka semua menteri seperti Agus, Enggar, Lutfi, dan Zulhas juga harus diperiksa dan ditetapkan status yang sama.
Ini juga menimbulkan pertanyaan penting: Apakah Jokowi tidak mengetahui kebijakan menteri-menterinya tersebut?
Jika lima Menteri Perdagangan melakukan hal serupa dalam kebijakan impor gula, maka sudah sepatutnya, dan menjadi konsekuensi hukum, bahwa Presiden juga harus diperiksa.
Jokowi tidak bisa dikesampingkan dalam hal ini.
Pasal 421 KUHP Jo Pasal 3 Jo Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor menyatakan bahwa atasan yang membiarkan terjadinya korupsi dapat dipidana.
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dapat diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Dalam aturan UU Tipikor, ancaman pidana penjara diubah menjadi minimal satu tahun dan maksimal enam tahun.
Ternyata banyak menteri Jokowi yang terlibat dalam korupsi, oleh karena itu Jokowi layak untuk diperiksa dan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Jika tidak, maka pembiaran ini adalah bagian dari jebakan politik yang mencoreng pemerintahan.
Dalam kasus yang “belum terbukti” adanya aliran dana ke kantong Tom Lembong, ini berarti hanya berdasarkan kebijakan saja.
Oleh karena itu, lebih terbuka untuk mengusut atau memeriksa seluruh Menteri Perdagangan yang menjalankan program impor gula.
Lebih dari itu, memeriksa Jokowi yang menjadi atasan para menteri tersebut juga sangat penting.
Bagi Tom Lembong, yang kini ditahan dan menjadi tersangka, ia hanya perlu menyatakan bahwa kebijakan impor gula yang diambilnya diketahui dan disetujui oleh Jokowi.
Jokowi telah melakukan pembiaran.
Ia bisa ditangkap, ditahan, diadili, dan mendapatkan sanksi pidana maksimal enam tahun penjara.
Bahkan, Lembaga Kajian untuk Advokasi dan Independensi Peradilan berpendapat bahwa atasan yang mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi, tanpa melaporkannya, dapat dikenakan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan atau medeplichtige.
Artinya, sanksi tersebut sedikit lebih ringan daripada pelaku korupsi, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Jika penetapan status tersangka Tom Lembong bersifat politis, ia harus dibebaskan.
Namun, jika murni hukum, maka Jokowi harus ikut diperiksa dan dihukum.(*)