Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

HEBOH Produk Tuak, Wine Hingga Donat Tuyul Dapat Sertifikat Halal dari Kemenag, Kok Bisa?!

 Influencer Dian Widayanti mendapati sejumlah produk dengan nama ‘tuyul’, ‘tuak’, ‘beer’ dan ‘wine’ memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) RI.

Dia mempertanyakan mengapa nama-nama produk tersebut bisa lolos mendapatkan sertifikat halal, padahal dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, nama-nama tersebut dilarang.

“Dalam aturan itu kita nggak boleh menamakan sesuatu dengan nama yang diharamkan misalnya kayak whiskey, beer dan lain-lain,” ujar Dian melalui akun TikTok-nya dilihat Rabu, 2 Oktober 2024.

“Artinya rhum, beer, wine itu harusnya nggak boleh, tapi ini ada di web halal Indonesia,” sambungnya sambil menyertakan bukti tangkap layar.

Dia lantas menyinggung kasus Mie Gacoan yang dulu sempat heboh di media sosial. 

Kala itu restoran tersebut tidak diberi sertifikasi halal lantaran memiliki nama ‘setan’ dan ‘iblis’ di buku menu.

“Akhirnya Mie Gacoan mengganti nama makanan itu supaya dapat sertifikat halal. Karena memang ada aturannya,” kata Dian.

Dia menyebut, dari segi penamaan makanan, pemilik usaha dilarang menamakan produk mereka dengan nama-nama yang mengandung kekufuran dan kebatilan.

“Tapi sekarang, kok bisa ada ‘tuyul’ masuk ke dalam web Halal Indonesia,” tanya dia.

Terakhir, Dia menegaskan bahwa saat ini pihak yang bertanggung jawab atas pemberian sertifikasi halal tak lagi dipegang oleh LPPOM MUI, melainkan BPJPH Kemenag seperti dikutip dari viva


Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan.

Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan,” jelasnya.

Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol.

Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi (‘urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.

Atas dasar itu, Pengasuh Pesantren Al-Nahdlah ini mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal.

Kiai Niam juga menegaskan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.

“MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an,” tegas Niam yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan, karena itu harus hati-hati sekali.

“Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui self declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi stadar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal,” ujarnya.

Yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, yang ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah dan Asrorun Niam Sholeh sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memuat ketentuan bahwa di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah;

a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;

b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:

1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan

2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut.

3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum

c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya

d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama

e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan

f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.***

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved