Penulis: Ali Syarief - Fusilatnews
Pada masa pemerintahan Bung Karno, Indonesia sempat dikenal dengan kabinet yang sangat besar, bahkan mencapai 100 menteri. Kabinet ini mencerminkan kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang masih dalam fase awal pembangunan setelah kemerdekaan. Dengan berbagai tantangan domestik dan internasional, Bung Karno membentuk kabinet besar dengan harapan bahwa semakin banyak orang yang terlibat dalam pemerintahan, semakin banyak solusi yang dapat diberikan.
Namun, ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, pendekatannya berbeda. Kabinet di era Orde Baru lebih kecil dan lebih efisien. Soeharto berfokus pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi jangka panjang, dan memandang kabinet yang ramping sebagai cara untuk memperkuat kontrol dan efisiensi pemerintahan. Berkurangnya jumlah menteri memungkinkan pemerintahan bergerak lebih cepat dan terkoordinasi, terutama di tengah proses pembangunan infrastruktur yang pesat.
Kini, pada era pasca-Reformasi, kita kembali melihat tren kabinet besar. Dalam pemerintahan yang akan datang, bahkan lebih dari 100 menteri dan wakil menteri akan dilibatkan. Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari pembentukan kabinet sebesar ini? Apakah ini merupakan strategi yang efektif atau justru menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar?
Maksud dari Kembalinya Kabinet Besar
Pembentukan kabinet besar bisa dipandang dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi, kabinet besar mencerminkan upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik. Mengingat Indonesia adalah negara yang sangat plural dengan beragam partai politik, agama, dan kelompok sosial, maka pengisian jabatan menteri bisa dilihat sebagai cara untuk menjaga keseimbangan dan harmoni politik. Partai-partai yang mendukung presiden tentu akan berharap mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, dan kabinet besar memberikan ruang yang cukup untuk memenuhi harapan tersebut.
Namun, kabinet besar juga bisa menjadi simbol dari kondisi Indonesia yang saat ini membutuhkan banyak dorongan dari berbagai sisi. Jika kita ibaratkan Indonesia sebagai sebuah bus yang harus didorong untuk bisa berjalan, maka jumlah orang yang terlibat dalam mendorong bus itu mencerminkan seberapa berat bus tersebut. Kondisi “bus” yang sudah tidak terpelihara, dengan beban birokrasi yang menumpuk, ekonomi yang melemah, serta tantangan pembangunan yang semakin kompleks, membutuhkan banyak tangan untuk bekerja. Namun, apakah lebih banyak menteri benar-benar akan memberikan solusi atau malah menambah beban baru?
Tugas Menteri: Apakah Kabinet Besar Solusi yang Efektif?
Secara teoretis, tugas menteri adalah melaksanakan program-program presiden di bidang masing-masing. Menteri merupakan representasi politik, sementara eksekutornya adalah para profesional yang bekerja di bawah mereka, seperti direktur jenderal (dirjen) dan pejabat birokrasi lainnya. Menteri adalah pengarah kebijakan, bukan eksekutor utama. Maka, pertanyaan yang muncul: apakah kabinet besar benar-benar diperlukan untuk memastikan jalannya pemerintahan yang efektif?
Jika kita menggunakan teori administrasi negara, dikenal istilah span of control, yang berarti kemampuan seorang pemimpin untuk mengawasi dan mengendalikan bawahannya. Kabinet yang besar bisa memperumit koordinasi antar kementerian dan mengurangi efektivitas kontrol presiden terhadap pelaksanaan program-programnya. Dalam konteks ini, kabinet besar justru bisa menjadi kontra-produktif.
Selain itu, ada juga konsep law of diminishing returns dalam ilmu ekonomi, yang berarti semakin banyak sumber daya yang ditambahkan ke dalam suatu sistem, pada titik tertentu, kontribusi tambahan dari sumber daya itu akan semakin berkurang. Hal ini bisa diterapkan pada kabinet besar. Semakin banyak menteri yang dilibatkan, tidak serta merta akan meningkatkan produktivitas atau efisiensi pemerintahan. Sebaliknya, bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan yang pada akhirnya menghambat kinerja pemerintahan.
Indonesia: Antara Harapan dan Tantangan
Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar di berbagai bidang. Dari ekonomi yang berjuang untuk tumbuh stabil, krisis iklim yang semakin mengancam, hingga infrastruktur yang masih jauh dari sempurna. Jika kabinet besar ini dibentuk dengan tujuan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka seharusnya para menteri yang terlibat benar-benar memiliki kompetensi dan komitmen untuk membawa perubahan. Namun, jika penunjukan menteri hanya berdasarkan pertimbangan politik tanpa melihat kapabilitas, maka kabinet besar hanya akan menjadi beban tambahan bagi negara.
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada jumlah orang yang terlibat dalam pemerintahan untuk mendorong perubahan. Yang lebih dibutuhkan adalah kualitas kepemimpinan, perencanaan yang matang, serta eksekusi yang efektif di setiap lini pemerintahan. Seperti halnya mesin bus yang perlu perawatan rutin agar tetap bisa berjalan tanpa perlu didorong terus-menerus, demikian juga dengan negara. Reformasi birokrasi, transparansi, dan penguatan tata kelola menjadi kunci bagi Indonesia untuk bergerak maju.
Kesimpulan:
Kembalinya kabinet besar mungkin mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini, namun solusi sesungguhnya tidak terletak pada jumlah menteri. Kabinet yang besar harus diimbangi dengan efektivitas, kompetensi, dan kemampuan untuk bekerja secara sinergis. Seperti kata pepatah, “Banyak koki, rasa masakan bisa kacau.” Demikian juga, banyak menteri tanpa koordinasi yang baik hanya akan memperlambat laju pembangunan.
Tantangan besar Indonesia tidak akan terpecahkan hanya dengan menambah jumlah jabatan menteri, melainkan dengan reformasi struktural yang lebih mendalam dan keberanian untuk mengubah sistem yang ada agar lebih efektif dan efisien.