Empat puluh hari terakhir dalam masa jabatannya, Presiden Jokowi berkantor di IKN, ibu kota negara yang dibayangkan akan menjadi penanda semiotis bagi pencapaian rezim yang dipimpinnya. Kita semua tahu belaka, IKN dibangun dalam situasi sosial, politik, dan ekonomi negara yang compang-camping.
Seturut dengannya, pilihan presiden berkantor pada bulan terakhir kuasanya tersebut menjadi semacam penegas: betapa ambisi membuat legasi mercusuar itu terus bergelora, hingga detik terakhir.
Pasalnya, sulit dicari argumentasi, apa urgensinya presiden harus berkantor di sebuah lokasi proyek pembangunan yang secara umum jauh dari selesai tersebut. Galibnya, jika presiden berkantor di suatu daerah, hal itu karena di daerah tersebut terjadi sebuah peristiwa besar macam bencana, misalnya; atau karena situasi keamanan ibu kota negara terganggu seperti terjadi pada 1946, saat pusat pemerintahan berpindah sementara ke Yogyakarta. Tidak ada alasan darurat sedemikian.
Alih-alih, berkantor sebentar di IKN—seperti juga merayakan hari kemerdekaan pada 17 Agustus tempo hari—malah merupakan tindakan pemborosan anggaran.
Sebab tidak ditemukan alasan kuat tersebut, pilihan presiden berkantor selama 40 hari di IKN, secara semiotik dapat dibaca sebagai perkara bahasa. Merujuk kepada semiotika Barthes (1986), pilihan presiden Jokowi adalah upaya untuk menciptakan konotasi: bahwa IKN sudah bisa difungsikan.
Pesan konotatifnya adalah bagaimana mungkin IKN dianggap tidak selesai jika presiden telah bisa berkantor di sana, telah bisa memimpin rapat kabinet, rapat tingkat tinggi untuk kepentingan bangsa—mana mungkin rapat kabinet hanya membincangkan yang ecek-ecek.
Arsitektur Konotasi
Dengan demikian, pilihan tersebut sepenuhnya merupakan permainan tanda (play of sign). Permainan tanda adalah pembelokkan realitas riil ke dalam realitas tanda. Di situ, konotasi (tingkat kedua tanda) tidak dibangun di atas denotasi (tingkat pertama tanda) atau, setidaknya, terjadi “pemindahan paksa” realitas riil ke dalam realitas bahasa tingkat pertama (denotasi).
Hal ini karena fakta riilnya IKN memang belum selesai. Konotasi minus denotasi demikian menjadikan konotasi hanya berfungsi untuk konotasi itu sendiri (connotation for connotation's sake). Inilah bahasa politik yang kropos.
Lantas, apa konsekuensi dari rancangan bahasa politik yang kropos sedemikian? Sebab hal itu dilakukan pada masa terakhir kekuasaan, pesan praksis (meminjam Fiske tentang komunikasi mazab praksis, 1992) tindakan semiotik Presiden Jokowi, mau tidak mau, suka tidak suka, mengarah secara langsung kepada pemerintahan baru.
Dengan kata lain, Presiden Jokowi telah mewariskan dua beban sekaligus ke pemerintahan berikutnya, yakni pembangunan IKN (real system) yang belum selesai dan arsitektur bahasa politik yang kropos (play of sign system). Dua beban berat ini merupakan sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Arsitektur bahasa politik yang kropos (konotasi tanpa denotasi) Presiden Jokowi baru akan bisa berdiri jika kepadanya diberikan pondasi yang kuat, yang tidak lain adalah arsitektur fisikal IKN.
Sekali lagi, ini merupakan tugas warisan (semoga tidak jadi dosa warisan) Presiden Jokowi untuk Presiden Prabowo. Kepemimpinan Prabowo harus menyusun bahasa denotatif yang bisa dilesakkan sebagai pondasi pada lubang kropos arsitektur konotasi Presiden Jokowi.
Celakanya, hemat saya, nyaris tidak mungkin kepemimpinan Prabowo dapat melakukan hal ini secara sempurna.
Pembangunan IKN setidaknya membutuhkan waktu 15-20 tahun (jika mau diteruskan) untuk sampai pada tahap “selesai”. Oleh sebab itu, hal yang harus bisa dilakukan oleh kepemimpinan Prabowo adalah segera memindahkan kantornya ke IKN, setidaknya dalam 100 hari pertama masa kepemimpinannya.
Jika hal tersebut tidak bisa dilakukan, arsitektur bahasa politik Jokowi akan dengan sendirinya runtuh. Alih-alih hanya runtuh, ia akan menciptakan “lubang bahasa” yang berpotensi menjadi “kuburan bahasa”. Kuburan bahasa terjadi ketika publik terus mengolok-oloknya.
Potensi ini sangat besar terjadi mengingat pada masa akhir kepemimpinannya, sebagaimana kita semua tahu belaka, Presiden Jokowi juga telah menciptakan banyak lubang bahasa yang lain.
Jika kita merunut ke belakang, ke awal kepemimpinannya, Presiden Jokowi memang telah merancang bangunan kuasanya sebagai arsitektur bahasa (positif ataupun negatif).
Lihat, misalnya, esai saya, “Kabinet Semiotika Jokowi” (Kompas, 24/10/2014). Oleh sebab itu, nyaris pada sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi kita berada dalam hiruk-pikuk bahasa.
Presiden Jokowi tampak menikmati posisinya berada di pusat perbincangan. Jokowi sangat sering melakukan tindakan bahasa (verbal, visual, gerak) yang memancing perdebatan berbagai pihak sebab tindakan tersebut penuh membuka ruang selebar-lebarnya bagi konotasi.
Tampak disadari bahwa jika tindakan tersebut akan menimbulkan kontroversi, tetapi dari kontroversi tersebut justru ia menuai laba sebagai sosok yang bertengger secara terus-menerus dalam medan wacana.
Itulah gaya presiden yang “berkantor di dalam bahasa”, tepatnya dalam konotasi. Jokowi tampak tidak beranjak dari kantor bahasa konotasi ini hingga detik-detik akhir kepemimpinannya.