Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Penghilangan Azan Magrib Karena Misa Paus: Tindakan Toleransi atau Pengabaian Nilai?'

 Sebaliknya, membiarkan azan berkumandang di antara misa justru menunjukkan bahwa kita bisa hidup dalam keberagaman tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. 

Sebuah masyarakat yang toleran adalah masyarakat yang mampu mengakomodasi berbagai keyakinan tanpa merasa terancam atau perlu menekan eksistensi yang lain.

Isu penghilangan sementara azan Magrib karena adanya misa dari Paus Franciscus yang akan disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan masyarakat Indonesia.

Wacana ini diawali oleh surat permohonan dari Kementerian Agama kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kemudian ditindaklanjuti oleh surat dari Kominfo kepada para direktur utama lembaga penyiaran. 

Mereka meminta agar siaran azan Magrib pada tanggal 5 September 2024 ditiadakan dan digantikan dengan running text, demi menjaga kekhidmatan misa tersebut.

Kronologi dan Respons Publik

Surat dari Kementerian Agama, tertanggal 1 September 2024, menyarankan agar misa yang dipimpin Paus Franciscus pada 5 September disiarkan secara langsung tanpa terputus. 

Untuk menjaga konsentrasi dan kekhusyukan misa, Kemenag meminta agar azan Magrib tidak disiarkan, melainkan diganti dengan running text. 

Surat ini kemudian disampaikan kepada Kominfo, yang menindaklanjutinya dengan surat permohonan kepada seluruh stasiun televisi nasional.

Reaksi publik terhadap permintaan ini cukup kuat. Banyak masyarakat Muslim yang merasa bahwa penghilangan azan, meskipun sementara, adalah tindakan yang berpotensi mencederai nilai-nilai keberagamaan di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim. 

Tagar seperti #azanTetapBerkumandang mulai menjadi tren di media sosial, menunjukkan resistensi masyarakat terhadap wacana ini.

Partai-partai politik juga tidak tinggal diam. Partai Ummat, misalnya, dengan tegas menolak permintaan ini. 

Dalam pernyataannya, Partai Ummat menyebut bahwa peniadaan azan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan dan tradisi bangsa yang mayoritas Muslim. 

Mereka menilai, toleransi seharusnya tidak diartikan sebagai penghilangan ritual keagamaan, melainkan sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi berbagai keyakinan di ruang publik.

Toleransi: Memahami Konteks

Dalam perspektif filsafat dan teologi, toleransi adalah salah satu prinsip fundamental dalam masyarakat pluralistik. 

John Locke, dalam karyanya "A Letter Concerning Toleration," menegaskan bahwa toleransi adalah dasar dari kehidupan sosial yang harmonis. 

Locke percaya bahwa setiap individu harus bebas dalam menjalankan keyakinannya, dan pemerintah tidak boleh mengganggu pelaksanaan agama, selama hal itu tidak membahayakan masyarakat.

Di sisi lain, dalam tradisi Islam, konsep tasamuh (toleransi) juga sangat dihargai. Al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf Islam, menekankan pentingnya menghormati keyakinan lain, namun tidak dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam. 

Dalam konteks ini, penghilangan azan, meskipun sementara, dapat dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap syi’ar Islam yang seharusnya dihormati, bahkan oleh penganut agama lain.

Sementara itu, pandangan lain melihat bahwa toleransi sejati muncul ketika berbagai keyakinan bisa berjalan berdampingan. 

Dengan mengizinkan azan berkumandang di tengah misa, kita sebenarnya mempraktikkan toleransi yang lebih mendalam, yaitu pengakuan akan keberadaan dan pentingnya ritual agama lain di ruang publik. 

Ini juga sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, di mana keberagaman justru menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.

Haruskah Azan Ditiadakan?

Apakah penghilangan azan Magrib benar-benar diperlukan dalam konteks misa Paus Franciscus? Pertanyaan ini membawa kita kepada inti dari diskusi tentang toleransi dan pengakuan terhadap keyakinan masing-masing. 

Azan adalah panggilan penting bagi umat Islam, yang menandai waktu shalat dan menjadi bagian dari identitas Islam di Indonesia. 

Menggantinya dengan running text demi menjaga kekhidmatan misa mungkin terlihat sebagai langkah kompromi, tetapi apakah ini bentuk toleransi yang sejati?

Sebaliknya, membiarkan azan berkumandang di antara misa justru menunjukkan bahwa kita bisa hidup dalam keberagaman tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. 

Sebuah masyarakat yang toleran adalah masyarakat yang mampu mengakomodasi berbagai keyakinan tanpa merasa terancam atau perlu menekan eksistensi yang lain. 

Dalam hal ini, azan yang tetap berkumandang selama misa mungkin menjadi simbol nyata dari toleransi yang sejati, di mana setiap keyakinan diberi ruang untuk tampil dan dihormati.

Penghilangan azan Magrib karena adanya misa Paus Franciscus mungkin didasarkan pada niat baik untuk menghormati kekhidmatan ibadah agama lain. 

Namun, langkah ini dapat dianggap sebagai pengabaian terhadap nilai-nilai keberagamaan yang telah lama menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia. 

Sebagai negara dengan beragam keyakinan, kita seharusnya mendorong terciptanya ruang di mana berbagai ritual keagamaan bisa berlangsung berdampingan, sebagai cermin dari toleransi yang sesungguhnya. 

Dengan demikian, kita tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap agama lain, tetapi juga mempertahankan kekayaan budaya dan spiritualitas bangsa yang plural.

Sumber Berita / Artikel Asli : inilah

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved