Isu pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur (Kaltim) masih saja menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membahas terkait keputusannya secara langsung untuk menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota.
Publik pun sudah menyoroti terkait keputusan Jokowi yang belum juga menerbitkan Keppres pemindahan ibu kota ini.
Padahal, sosok Jokowi lah yang sangat getol menginginkan ibu kota pindah ke Kalimantan di tengah kepemimpinannya, yang bahkan pemindahan ibu kota ini tidak ada dalam janji kampanyenya.
Ada dugaan keputusan menunda Keppres pemindahan ibu kota ini sengaja dilakukan agar dilimpahkan kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Apakah hal tersebut benar dan apa alasan Jokowi belum menerbitkan Keppres?
Dikutip dari Antara, Jokowi menyebut kepindahan ibu kota ini bukan hanya sekedar tandatangan, tetapi kesiapan Ibu Kota Nusantara (IKN) itu sendiri.
"Kita melihat itu kesiapan betul betul, di sana harus betul-betuk siap betul. Kalau cuma hanya tanda tangan, tanda tangan gampang, tapi kesiapan IKN itu sendiri. Kalau yang namanya ditandatangani, pindah itu semua harus siap," kata Jokowi setelah menghadiri Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition 2024, di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (18/09/2024).
Menurut Jokowi, kesiapan tersebut meliputi Gedung, listrik, furnitur, hingga sumber daya manusia.
"Bukan hanya gedung yang siap, furnitur harus siap, listrik harus siap, SDM harus siap, sistemnya harus siap, pindahan rumah aja ruwetnya kayak gitu, ini pindah ibu kota jadi semua harus dihitung," ujar Jokowi.
Jokowi pun menyinggung bahwa Keppres pemindahan ibu kota juga bisa saja ditandatangani oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
"Yang tanda tangan bisa saya bisa presiden terpilih Prabowo Subianto," tambahnya seperti dikutip dari suara
Berbagai Proyek di IKN Berpotensi Terbengkalai, Hanya Jadi Beban Negara Tanpa Bermanfaat Bagi Rakyat
Belum ditandatanganinya Keputusan Presiden (Keppres) terkait Pemindahan Ibu Kota oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpotensi terbengkalainya berbagai proyek pemerintah maupun swasta di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, jika Keppres IKN tidak terbit hingga akhir masa jabatan Jokowi, dampaknya pada investor akan signifikan.
Menurutnya, ketidakpaastian ini akan menciptakan kekhawatiran di kalangan investor yang sudah berkomitmen atau berniat menanamkan modal mereka di IKN.
"Para investor umumnya membutuhkan kepastian hukum dan kepastian eksekusi proyek, terutama pada proyek berskala besar seperti IKN," kata Achmad kepada Tribun, Senin (23/9/2024).
Ketika Keppres IKN tertunda, kata Achmad, banyak investor potensial mungkin akan menunda atau bahkan menarik komitmen mereka, mengingat ketidakpastian dalam kepemimpinan berikutnya.
Kemudian, pergantian pemerintahan yang membawa arah kebijakan yang berbeda juga bisa memicu kekhawatiran bahwa proyek ini akan terbengkalai, atau bahkan dihentikan sama sekali.
"Investor internasional, khususnya, sangat sensitif terhadap stabilitas politik dan regulasi, dan tanpa kepastian ini, ada kemungkinan mereka memilih untuk mengalihkan modal ke proyek-proyek lain yang lebih aman dan memiliki jaminan keberlanjutan," tuturnya.
Di sisi lain, Ia menyampaikan, proyek-proyek infrastruktur yang tengah berlangsung juga berpotensi tersendat. Jika investor besar mulai ragu, dana untuk menyelesaikan proyek-proyek pendukung seperti jalan tol, kantor pemerintahan, dan fasilitas lainnya mungkin tidak akan tersedia tepat waktu.
"Ini akan semakin memperburuk kondisi proyek IKN, memperpanjang timeline dan meningkatkan biaya, yang pada akhirnya bisa menjadi beban anggaran lebih besar bagi negara," katanya.
"Singkatnya, jika Keppres IKN tidak diterbitkan di masa pemerintahan Jokowi, risiko kegagalan menarik dan mempertahankan investasi akan semakin tinggi," sambung Achmad.
Lebih lanjut Achmad mengatakan, hal ini juga bisa berdampak pada citra Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, yang ingin menarik investor melalui proyek-proyek ambisius seperti IKN.
Oleh sebab itu, Achmad menilai ketidakpastian ini harus segera diselesaikan agar tidak mengganggu rencana strategis dan merusak kepercayaan publik maupun swasta terhadap stabilitas kebijakan nasional.
"Pemerintah yang akan datang perlu lebih transparan dalam mengevaluasi rencana perpindahan ini. Tanpa penyelidikan dan perencanaan yang jelas, proyek ambisius ini berisiko menjadi beban tambahan bagi anggaran negara tanpa memberikan manfaat yang sepadan bagi rakyat," paparnya.
Tambahan Kantor Kementerian di IKN Belum ada
Di sisi lain, persoalan jumlah kantor menteri juga menjadi tantangan.
Achmad menyampaikan, infrastruktur perkantoran yang dibangun di IKN saat ini didasarkan pada komposisi kabinet era Jokowi, yakni 36 rumah tapak untuk menteri dan 4 gedung Kemenko.
Namun, ada kemungkinan kabinet di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran akan lebih besar, terutama setelah disahkannya revisi UU Kementerian Negara yang menghapus batas jumlah kementerian.
"Hal ini tentu membutuhkan penyesuaian infrastruktur yang berpotensi meningkatkan biaya tambahan lagi. Sementara, belum ada komunikasi yang jelas antara Kementerian PUPR dan Prabowo terkait rencana ini, sehingga semakin menambah ketidakpastian," paparnya.
Dalam hal ini, Achmad menyebut, pemerintah dan DPR yang akan datang harus berani menyelidiki motivasi pembangunan IKN dan perencanaannya yang terkesan tidak proper.
"Terlalu banyak hal yang tergantung hanya pada satu arah kebijakan, yaitu dari Presiden Jokowi, tanpa memperhitungkan secara matang implikasi jangka panjangnya. Apakah perpindahan ini benar-benar berlandaskan kebutuhan strategis bangsa, atau lebih kepada ambisi politik semata?" paparnya.
Menurutnya, pemborosan anggaran yang terjadi selama proses ini perlu diawasi lebih ketat.
Jika perpindahan IKN gagal terjadi hingga akhir masa jabatan Jokowi pada Oktober 2024, Achmad menilai, ada risiko besar bahwa proyek ini akan terhenti, atau bahkan tidak dilanjutkan oleh pemerintah berikutnya.
"Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga menambah beban ekonomi bagi Indonesia yang sedang berusaha bangkit dari berbagai krisis," ucapnya.
Alasan Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan soal belum juga ditekennya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) Kalimantan Timur (Kaltim).
Presiden mengatakan bahwa Keppres diteken apabila IKN sudah siap.
"Kita melihat itu kesiapan betul-betul ya. Di sana harus betul-betul siap, betul. Kalau Cuma hanya tanda tangan, tanda tangan gampang. Satu detik ya tanda tangan," kata Jokowi di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Rabu, (18/9/2024).
Kesiapan yang dimaksud kata Presiden mulai dari infrastruktur seperti bangunan, listrik dan lainnya, melainkan juga Sumber Daya Manusia, dan sistemnya. Pemindahan IKN bukan hanya pindah tempat saja.
"Ini bukan pindahan rumah saja, ruwetnya kayak gitu, ini pindahan ibu kota," katanya.
Pemindahan Ibu Kota secara resmi harus dikalkulasikan dengan matang. Ekositem harus sudah terbangun sebelum IKN resmi berstatus sebagai ibu kota.
"Tapi kesiapan yang paling penting, kotanya ini siap betul. ekosistemnya sudah terbangun, kalau itu sudah siap. Kan juga ada yang pendukung lainnya, logistik seperti apa, sekolah untuk anak-anak yang nanti di sana siap enggak, rumah sakitnya siap enggak. Tidak hanya urusan kita pindah," pungkasnya.
Sebelumnya meski Undang-undang nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta mulai berlaku sejak ditandatangani Jokowi 25 April lalu, status ibu kota belum berubah.
Ibu Kota baru resmi pindah dari Jakarta ke IKN apabila telah terbit Keputusan Presiden (Keppres) yang menetapkannya.
"Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan penetapan Keputusan Presiden mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 63 undang-undang nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.***