Berbagai beleid yang diluncurkan Jokowi di akhir pemerintahannya banyak yang seakan menyandera langkah presiden terpilih. Program Tapera dianggap bukti buruknya legasi.
Sukar untuk tidak berburuk sangka bahwa hari-hari Presiden Jokowi menjelang lengser Oktober nanti, dipenuhi risau dan jeri. Itu berkaitan dengan banyaknya keluar beleid baru yang justru memancing kontroversi. Aneka kebijakan yang terkadang seperti menyandera, setidaknya membatasi pilihan dan ruang gerak presiden terpilih Prabowo Subianto, sebelum ia memerintah dan menjalankan amanah, nanti.
Salah satunya, dan yang saat ini tengah jadi pusat pembicaraan warga, adalah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Bersama beberapa kebijakan lain yang agak ganjil dilansir menjelang lengser karena seolah memberatkan pengganti, Jokowi terkesan melakukannya karena merasa punya andil dalam kemenangan presiden terpilih pada Pilpres lalu. Hanya, kalau pun ia ibaratnya menagih utang budi, saat ini tampaknya terlalu dini.
Terutama Tapera, beleid pemerintahan Jokowi di ujung kekuasannya ini memang tak hanya kontroversial, namun sudah memanaskan kepala publik dan memicu kemarahan massal. Bayangkan, ibarat bergerak dalam mode senyap—sebenarnya ini kebiasaan baru di Senayan—keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024. Benar, PP Tapera itu punya gantolan hukum, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Persoalannya, selain undang-undang yang sejatinya sangat terkait urusan rakyat itu selama ini pun tak banyak menarik perhatian khalayak, sebagai turunannya, PP 21/2024 itu pun ibaratnya berbuat selingkuh.
Misalnya, PP Tapera mewajibkan semua warga Indonesia yang bekerja, baik yang jadi aparatur sipil negara (ASN) di institusi pemerintah, mereka yang bekerja di perusahaan swasta, atau pun bekerja mandiri, wajib jadi anggota dan menyetor dana Tapera. Total nilainya tiga persen dari penghasilan per bulan. Dari jumlah itu 0,5 persennya menjadi beban pemberi kerja. Yang kena kewajiban ini adalah mereka yang sudah berusia 20 tahun atau telah menikah, tanpa pertimbangan apakah yang bersangkutan belum atau sudah memiliki rumah.
Sementara pada Undang-undang no 4/2016 tentang Tapera, yang disetujui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini cenderung berhadapan diametral menolak, yang ada justru bertolak belakang. Pasal 9 ayat 2 UU 4/2016 menegaskan bahwa untuk menjadi peserta, orang harus mendaftarkan diri mereka kepada otoritas yang mengurus Tapera. Artinya, kesukarelaan menjadi dasar kepesertaan, bukan sanksi dan hukuman seperti yang diancamkan pemerintahan Jokowi.
Yang lain, pasal 27 ayat 1C UU 4/2016 menegaskan bahwa yang menjadi peserta Tapera adalah mereka yang belum punya rumah. Sementara kini, pemerintahan Jokowi mewajibkan mereka yang sudah berusia 20 tahun, atau sudah menikah, dan bekerja, harus menjadi peserta Tapera. Peduli setan apakah orang-orang ini sudah punya rumah, atau mereka yang tak ingin punya rumah sendiri karena menunggu dapat warisan setelah orang tua mati, atau tidak!
Untuk bikin ngeri, dalam PP baru itu pun pemerintah juga mengeluarkan ancaman. Boleh-boleh saja orang menolak—dan menjadi sempalan di mata pemerintah. Mereka tetap dibebani sanksi administrasi alias denda. Besarnya “hanya” 0,1 persen dari gaji. Hanya, akan terus-terusan dikutip pemerintah setiap bulan, laiknya perilaku lintah darat pengisap rakyat. Wajar, bila di dunia maya, terutama media sosial, berkembang kepanjangan Tapera yang lain dari sejatinya: Tabungan Peras Rakyat.
Tidak heran bila sambutan pubik atas Tapera didominasi suara kemarahan. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, misalnya. Tanpa basa-basi ia menyatakan Tapera tidak rasional. "Misalnya, dengan upah minimum Rp3,5 juta, maka iurannya sekitar Rp105 ribu per bulan. Harga rumah minimalis katakana Rp250 juta. Maka butuh 2.000 bulan atau 166 tahun. Kira-kira itu masuk akal tidak?”ujar dia. Ia meminta pemerintah tak bersikap tega membebani para pekerja saat ini pun sudah besar. "Beban pekerja sudah berat karena harus bayar BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan."
Keresahan terutama berkobar di laman maya. Banyak tanggapan netizen di kanal media sosial X (Twitter). Ambil satuj saja, akun @YooStoleMaHeart, yang dilihat Inilah.com pada Selasa (28/5) lalu. "Misal gaji Rp6 juta, buat Tapera 3 persennya, yaitu Rp180 ribu. Ditabung selama 10 tahun saja cuma dapat Rp21,6 Juta. Ada inflasi, dalam 10 tahun ke depan nilainya turun. Emang bisa beli rumah pakai uang Rp21,6 Juta? Buat DP? Lah ngumpulin DP-nya saja 10 tahun. Ini mah akal-akalan pemerintah,”ujar akun tersebut.
Bagi Guru Besar Ekonomi IPB, Universitas Paramadina dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof Didin S Damanhuri, program Tapera hanya akan memberi mudharat daripada manfaat. “Hampir tidak ada nilai positifnya karena perumahan sudah ada skemanya di BPJS untuk karyawan swasta yang ingin punya rumah. Ngapain pula harus ada ini?” kata Prof Didin.
Ia percaya, Tapera hanya akan menjadi beban, terlebih bagi para pekerja swasta menengah atau buruh yang saat ini pun sudah dibebani banyak potongan atas pendapatan mereka. Apalagi daya beli masyarakat pun sudah melorot jatuh, sementara harga kebutuhan pokok kian melambung. “Ini sangat kontraproduktif untuk tujuan pertumbuhan ekonomi Pak Jokowi yang ingin di atas 5,3 persen,”kata Prof Didin. “Jadi ini memukul balik tujuan pemerintah sendiri.” Prof Didin meminta pemerintah mengkaji ulang dan menarik kembali beleid yang potensial menindas rakyat kecil tersebut.
Jika pisau analisis ekonomi meyakinkan Prof Didin agar rencana Tapera diurungkan, secara moral-agama pungutan Tapera yang bersifat memaksa pun tak bisa dibenarkan. Dalam kitab suci rujukan mayoritas warga Indonesia, Al-Quran, ada firman Tuhan yang melarang. “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29). As-Sa’di dalam “Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân” menjelaskan ayat di atas sebagai,”Allah SWT telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil. Ini mencakup ghasab (perampasan) dan mencuri. Juga mengambil harta dengan cara berjudi dan berbagai usaha yang tercela.” Pelaku ghasab, kata As-Sa’di, bisa individu, bisa juga para penguasa dengan kebijakan mereka.
Akal-akalan potensi bancakan?
Di tengah merosotnya kredibilitas pemerintah di mata rakyat, wajar bila Prof Didin pun mencium bau yang diindera akun @YooStoleMaHeart. Bila @YooStole-MaHeart menyebut “akal-akalan”, Prof Didin menilai ada tujuan di balik Tapera, kemungkinan terkait ambisi Jokowi untuk melancarkan program-program megaproyek yang saat ini mengalami kesulitan keuangan. Contohnya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Berdasarkan perhitungannya, dana Tapera jika dijalankan bisa mencapai hingga Rp70 triliun per tahun, dengan mewajibkan sekitar 3,8 juta karyawan atau buruh swasta untuk ikut urunan.
Dari sisi pekerja, kecurigaan tersebut digaungkan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat. Ia ‘curigesyen’, seperti juga telah terjadi pada dana-dana publik yang dikelola pemerintah, misalnya dana Asabri, Jiwasraya dan Taspen, dana Tapera pun rawan jadi bancakan para pejabat berperilaku hewan. "Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terkait pengelolaan keuangan, buruk. Ukurannya, masih tingginya korupsi di Indonesia. Program Tapera (akan) menjadi program yang hanya menguntungkan penguasa dan kroni-kroninya," kata Mirah, Jakarta, Senin (3/6/2024) lalu.
Jika kecurigaan publik yang diwakili, antara lain, para tokoh tersebut adalah asap, itu ternyata bukan tanpa api. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata pernah melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dana Tapera dan biaya operasi-onal periode 2020-2021. Pemeriksaan dilakukan di tujuh provinsi, yakni Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogya-karta, Jawa Timur dan Bali. Hasilnya, berdasarkan laporan bernomor 202/-LHP/XVI/l2/2021 tertanggal 31 Desember 2021 mengungkap 124.960 peser-ta Tapera yang telah pensiun, belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp567,5 miliar. Selain itu, BPK menemukan sebanyak 40.266 peserta pensiun ganda yang belum menerima dana Tapera Rp130,3 miliar.
Jumlah pensiunan yang belum menerima pengembalian dana Tapera itu dibenarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Taspen. Mereka terdiri dari 25.764 orang berdasarkan data BKN, dan 99.196 pensiunan dari data Taspen. Kepesertaan mereka berakhir karena meninggal, atau pensiun di triwulan III-2021, namun masih tercatat sebagai peserta aktif.
Ada pun kekhawatiran Prof Didin juga dikuatkan bukti yang ada. Selain temuan BPK, dana iuran Tapera juga diduga digunakan untuk mengisi dana APBN yang tergerus megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN). "Parah ini. (Dana Tapera) untuk jaga-jaga defisit (anggaran). Gampang menebaknya, karena ada Menkeu yang juga jadi pejabat BP Tapera," ujar Mirah Sumirat, menambahkan.
Di luar benar tidaknya sinyalemen Mirah, faktanya Menteri Keuangan Sri Mulyani memang dipasang sebagai anggota Komite Badan Penglola (BP) Tapera. Di sana duduk pula Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (ketua), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (anggota), dan anggota Dewan Komisioner OJK, Friderica Widyasari Dewi.
Bukan tak ada suara yang membela Tapera, setidaknya dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Komisioner BP Tapera, Adi Setianto, pada akhir 2021 lalu menyatakan pihaknya menganggarkan dana subsidi dengan skema KPR FLPP sebesar Rp23 triliun. "Untuk tahun 2022, kami targetkan menyalurkan pembiayaan Kredit Perumahan Rakyat FLPP sebanyak 200 ribu unit rumah atau sekitar Rp23 triliun," kata Adi, saat Penandatanganan Tripartit Pengalihan Pengelolaan Dana FLPP ke BP Tapera, di Jakarta, Jumat (24/12/2021).
Bertolak belakang dengan kenyataan di masyarakat, Adi saat itu mengatakan, publik antusias menyambut program KPR subsidi yang tinggi itu. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total penyaluran dana FLPP dari 2010 sampai 2021 mencapai Rp75,1 triliun untuk 943.583 unit rumah. "Melihat di lapangan, animo masyarakat terhadap rumah subsidi, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) masih tinggi," ujar Adi.
Selain Prof Didin, usulan tegas terkait Tapera mengemuka dari mantan Staf Khusus Wakil Presiden era Jusuf Kalla, Yopie Hidayat. Baginya, tak ada cara lain bagi pemerintahan Prabowo yang akan manggung mulai Oktober mendatang kecuali membatalkan Tapera. “Banyak mudharat Tapera yang tak mungkin di bahas karena keterbatasan tempat,”tulisnya dalam sebuah artikel. Dari banyak sudut pandang pun sejatinya Tapera buruk bagi pemerintahan Prabowo. Yopie memberi judul tulisannya, “Tapera, Warisan Buruk Jokowi”.
Bila diteruskan, kata Yopie, “Secara keseluruhan, efisiensi sektor korporasi akan ter gerus. Jangan lupa, turunnya profitabilitas korporasi akan berpengaruh negatif pada penerimaan pajak. Ini bertentangan dengan program penting Prabowo Subianto: menaikkan penerimaan pajak secara signifikan.”
Dengan respons masyarakat yang tak lagi riak tetapi sudah bergejolak, dari Senayan, Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, cergas menyatakan DPR akan segera memanggil pemerintah. "Kita ingin memanggil semua (pihak) terkait, untuk meminta penjelasan, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman,” kata Muhaimin, akhir Mei lalu.