Penarikan dana Muhammadiyah dari Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi isu serius dalam dunia perbankan belakangan ini. Sejumlah isu mengiringi hal tersebut.
Pengurus Pusat Muhammadiyah disebut mengusulkan kadernya masuk di jajaran komisaris bank plat merah itu. Sosok yang diusulkan untuk jadi komisaris adalah Abdul Mu'ti.
Namun usulan tersebut tidak diakomodasi saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Benarkah demikian?
Analis Keuangan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Marzuki DEA memberi pandangannya. Menurutnya, ada alasan lain Muhammadiyah menarik dananya dari BSI selain karena isu tersebut.
“Kalau tanggapan publik bahwa karena ada komisaris yang tidak diakomodir oleh RUPS saya rasa relatif kebenarannya, karena itu bersifat politis,” kata Marzuki kepada fajar.co.id, Kamis (13/6/2024).
Sebagai salah satu organisasi masyarakat terbesar, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas itu menyebut Muhammadiyah paham mengenai Good Corporate Governance (GCG).
“Saya kira Muhammadiyah paham, bahwa hal seperti itu merupakan keputusan bersama para peserta RUPS, jadi tidak bisa dicampuri, karena bisa justru salah Muhammadiyah kalo paksakan maunya,” jelasnya.
Alih-alih alasan politis, menurutnya Muhammadiyah melakukan hal tersebut hanya karena bisnis. Mengingat dana Muhammadiyah memang selama ini berkonsentrasi disimpan di BSI.
“Jadi mungkin memang murni bersifat bisnis saja. Karena prinsip bisnisnya adalah simpanan tidak terkonsentrasi, ada pemerataan penempatan, berkeadilan, dan terutama dimaksudkan memajukan usaha umat khususnya yang bergerak di sektor UMKM,” jelasnya.
Marzuki menilai, apa yang dilakukan Muhammadiyah dari segi bisnis keputusan yang baik. Ada beberapa hal yang menjadi alasan.
“Jadi sederhana saja sebenarnya. Mungkin memperhatikan selama ini kebijakan BSI tidak seperti maksud prinsip bisnis Muhammadiyah tersebut maka diputuskan,” terangnya.
“Mengambil kebijakan untuk mengalokasi sedemikian rupa dana-dananya ke beberapa lembaga keuangan berbasis syariah supaya dananya tidak dimonopoli di satu lembaga, sekalian untuk menghindari risiko bisnis penempatan terkonsentrasi tersebut,” tambahnya.
Dengan adanya distribusi simpanan itu, Marzuki bilang ada pemerataan. Sehingga berujung pada pengoptimalan bantuan terhadap UMKM.
“Sehingga terjadi pemerataan pemanfaatan dana-dana oleh lembaga-lembaga lain, dan bisa lebih dioptimalkan pemanfaatannya untuk membantu kemudahan pembiayaan sektor UMKM,” ucapnya.
“Sehingga Muhammadiyah bisa memperoleh lebih banyak revenue dari bagi hasil dananya, karena banyak pihak yang manfaatkan, termasuk risiko penempatan terbag,” tambahnya.
Meski begitu, ia bilang BSI bisa kena getah atas tindakan tersebut. Mengingat dana Muhammadiyah di BSI adalah 5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) atau sekitar Rp15 triliun.
“Dampaknya bagi bank, tentu yang pertama kepada BSI sendiri akan menanggung beberapa risiko signifikan, risiko likuiditas, risiko imbal hasil, risiko investasi dan risiko reputasi,” ujarnya.
“Khawatirnya, perilaku nasabah tersebut menular ke lembaga-lembaga bank lainnya, maka dampaknya bisa berat pada stabilitas sistem keuangan, khususnya perbankan, yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian,” tambahnya.
Karenanya, ia berharap peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfungsi. Sehingga bisa memastikan tidak ada perilaku serupa seperti yang dilakukan Muhammadiyah.
“Sehingga segera harus dicarikan solusinya oleh BSI, dan strategi mitigasi pada bank lainnya, dan peran aktif OJK untuk mengawasi tren perilaku penarikan dana nasabah, baik terhadap perbankan dan nasabah-nasabah perbankan yang utama atau berdana besar,” tandasnya.