Oleh: M Rizal Fadillah
Oposisi adalah orang atau kelompok yang tidak berkuasa baik disebabkan oleh kekalahan kompetisi maupun pilihan posisi sendiri untuk menjadi penyeimbang. Dalam sistem demokrasi oposisi memiliki tempat yang mulia meski sering juga ditakuti. Hanya di negara komunis dan otoritarian oposisi dimusuhi bahkan dibasmi.
Sekurangnya ada empat fungsi oposisi dalam negara demokrasi. Pertama, mengawasi jalan pemerintahan. Kedua, mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, mengawal kehidupan demokrasi, dan keempat menjadi kekuatan politik penyeimbang sekaligus mewakili aspirasi rakyat. Oposisi membantu penguatan "civil society" yaitu masyarakat kuat yang mengimbangi negara.
Indonesia adalah negara musyawarah dan kekeluargaan. Akan tetapi tidak berarti harus menafikan oposisi. Kohesi diawali dengan sikap kritis atau pandangan beda. Partisipasi bukan mobilisasi. Tidak tepat jika penggiringan dianggap kohesif. Penggiringan adalah pembodohan. Dalam Demokrasi Terpimpin elit menggiring dan mengendalikan kekuasaan atas nama demokrasi.
Prabowo meminta agar diberi kesempatan untuk bekerja. Berbasis program dengan peringatan bagi yang tidak setuju untuk diam. Kebijakan membungkam oposisi tentu tidak sehat, tidak fair dan pasti tidak demokratis. Benih dari pemerintahan otoriter. Program dibuat sendiri, dikerjakan sendiri dan dinilai oleh sendiri. Sangat berbahaya sekali.
Apalagi jika menerapkan prinsip "the winner take all" maka dipastikan akan seenaknya. Kabinet diisi oleh kroni, kursi birokrasi kelompok sendiri, Duta Besar untuk pendukung kompetisi, Komisaris menjadi kue berbagi. Pemenang menguasai semua tanpa peduli apakah kemenangannya diperoleh secara jujur atau curang.
Jika kekuasaan mengarah pada otoritarian maka oposisi akan menggumpal sendiri. Saat Jokowi berkuasa, oposisi telah terbentuk baik kelompok politik, partai politik maupun tokoh politik. Jika Prabowo Gibran tidak mengubah kebijakan maka gumpalan oposisi yang ada akan semakin menguat, sementara gumpalan baru segera terbentuk. Posisi Prabowo dipastikan lebih berat. Apalagi rakyat yakin bahwa angka 58 persen itu palsu.
Luka rakyat akibat kinerja Jokowi sangat mendalam. Buruh marah atas paksaan omnibus law, umat terus menagih pembantai 21-22 Mei dan Km 50, purnawirawan TNI dikhianati santunan PKI, cendekiawan dinistakan oleh ijazah palsu, emak-emak berontak atas harga isi dapur yang terus naik, ojek, angkot dan pengguna transportasi tertekan oleh harga BBM. Sementara korupsi semakin tak terkendali dan DPR pun mati. Hanya bisa ribut di ruang komisi.
Oposisi terus melawan meski berada di lorong sempit. Jokowi diburu atas dosa politik yang bertumpuk. Ada kelompok Petisi 100, Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat, TPUA, Fordem dan lainnya. Ada pula wacana penguatan daerah seperti Aceh Merdeka, Madura Merdeka, Negara Pasundan, Pertahankan Jakarta. Kepanikan mencengkeram, apa saja dipegang termasuk politik dinasti.
Gumpalan oposisi akan menghebat bersama rakyat yang semakin hidup melarat. Ketika rezim Jokowi hingga kini sulit goyah oleh gerakan oposisi, maka di penghujung jabatan gebrakan menguat berbanding lurus dengan Jokowi yang bertambah nekad. Jika lolos, maka ini menjadi ujian bagi Prabowo apakah melindungi dan melanjutkan atau sebaliknya. Yang pasti, enerji potensial oposisi telah siap. Tinggal bersatu.
Slogan buruh bersatu tak bisa dikalahkan begitu juga dengan mahasiswa bersatu tak bisa dikalahkan akan terus bergaung. Satu langkah satu gerak dari oposisi merupakan kekuatan besar dan dahsyat. Ada buruh, ada emak-emak, purnawirawan, mahasiswa, akademisi maupun santri dan ulama. Oposisi bersatu tak bisa dikalahkan.
Siapapun penguasa apakah Jokowi, Prabowo atau lainnya pasti tidak akan mampu melawan kekuatan rakyat yang berkohesi dengan oposisi.
People power itu hakikatnya adalah kekuatan oposisi yang bersatu.
Rezim akan segera terguling atau tumbang.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 20 Juni 2024