Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan pemerintah hanya menyumbang biaya pendidikan untuk setiap mahasiswa perguruan negeri (PTN) Rp 3 juta per tahun.
Jumlah itu sangat timpang dibanding jumlah bantuan pendidikan yang diterima mahasiswa di perguruan tinggi milik kementerian/lembaga. Setiap mahasiswanya bisa menerima bantuan paling kecil Rp 16 juta per semester.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, alokasi dana itu terungkap dari temuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Temuan Bappenas dikonfirmasi sama pertemuan kemarin pemerintah nyumbang cuma Rp 3 juta ke mahasiswa (PTN) satu tahun. Perguruan tinggi di kementerian lembaga enggak ada yang lebih kecil dari Rp 16 juta (per mahasiswa),” kata Pahala kepada wartawan, Rabu (12/6/2024).
Tidak hanya itu, KPK juga menemukan terdapat kampus milik kementerian/lembaga yang setiap mahasiswanya menerima bantuan pemerintah Rp 20 juta per semester.
Menurutnya, perbedaan alokasi dana bantuan pendidikan tinggi ke kampus kementerian/lembaga dengan kampus PTN tidak adil.
“Ya kan enggak fair banget. Yang di sini Rp 3 juta UKT (uang kuliah tunggal) naik sudah demo-demo, ini Rp 20 juta se semester lulusnya enggak jadi PNS juga,” kata Pahala.
Pahala mengungkapkan, berdasarkan temuan KPK anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mengalir ke PTN dan menjadi bantuan operasional PTN (BOPTN) hanya Rp 7 triliun setahun.
Adapun BOPTN itu merupakan salah satu variabel dalam penentuan besaran nilai UKT.
Sementara itu, alokasi dana Dikti untuk kampus kementerian/lembaga mencapai Rp 32 triliun. Padahal, lulusan kampus itu tidak semuanya menjadi PNS dan ilmu yang diajarkan tidak spesifik.
“Berapa sih yang ke mahasiswa PTN? Ternyata cuma Rp 7 triliun. Sementara Rp 32 triliun ada di perguruan tinggi yang diselenggarakan kementerian lembaga,” tutur Pahala.
Dampak dari alokasi anggaran itu, pemerintah hanya menyumbang Rp 3 juta dari total Rp 10 juta biaya pendidikan tinggi yang ideal untuk setiap mahasiswa.
Sementara, untuk mencukupi Rp 7 juta lainnya perguruan tinggi harus mencari sendiri dengan cara membuka jalur mandiri, menarik uang sumbangan mahasiswa, dan menentukan besaran UKT.
Pahala mengaku pihaknya tidak mencampuri naik turunnya UKT. Namun, pihaknya melihat terdapat alokasi anggaran yang tidak efisien.
Ia berharap, dengan memperbaiki pengelolaan anggaran pendidikan tinggi itu, bantuan untuk mahasiswa PTN bisa bertambah sehingga kampus tidak direpotkan mencari uang dengan UKT yang tinggi atau sumbangan.
Penarikan sumbangan dan jalur mandiri rawan terjadi korupsi, baik suap maupun gratifikasi.
“Pendidikan yang berkualitas itu Rp 10 (juta), kalau pemerintah sekarang cuma Rp 3 (juta), naikin. Kan gitu ya. Bahwa nanti ditambah UKT jadi penuh, syukur,” ujar Pahala.
“Tapi jangan dorong komponen orang tua dan siswa ini yang didorong makin gede-gede,” tambahnya.