Sayap burung berkepak, menembus embun pagi,terbang menerjang keheningan, gerbang dini. Terperanjat mendengar, derap langkahnya yang begitu tenang,melangkah menuju keabadian.
Itulah beberapa bait dari lagu ‘Selamat Pagi Indonesia’ dalam album kedua God Bless ‘Cermin’, yang dirilis pada 1980. Lirik lagu ditulis oleh Theodore KS dan dinyanyikan vokalis group musik rock itu, Achmad Albar. Di album keduanya, God Bless sukses membawakan lagu-lagu bertema balada dengan warna musik rock progresif atau progressive rock.
Tapi siapa sangka, lagu ‘Selamat Pagi Indonesia’ justru terinspirasi dari perjalanan hidup seorang bromocorah legendaris, Kusni Kasdut. Lagu pembuka dalam album Cermin itu dirilis setelah penjahat itu menghadapi eksekusi mati di depan regu tembak di sebuah tempat dekat Kota Gresik, Jawa Timur, pada 16 Februari 1980.
Pria bertubuh kecil kelahiran Blitar, Jawa Timur, Desember 1929, itu mengakhiri kisah hidupnya pada usia 51 tahun. Kusni, yang bernama asli Waluyo, dihukum mati akibat beberapa ulahnya yang dianggap tak bisa diampuni. Ia merampok dan tak segan-segan membunuh korbannya. Selain sosoknya yang melegenda, di sisi lain, ternyata ia adalah mantan anggota laskar pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Di dalam buku ‘Kusni Kasdut’ karya Parakitri Simbolon pada 1979, Kusni atau Waluyo merupakan anak Wonomejo dan Mbok Cilik. Kusni ditinggal mati ayahnya sejak berumur 5 tahun. Kusni tinggal bersama ibunya dengan hidup yang sangat miskin. Ketika Jepang menjajah Indonesia, Kusni muda bergabung dengan heiho (tentara pembantu).
Kusni ditempatkan di Batalion Matsamura, Kota Malang. Ia dilatih sangat keras oleh tentara Jepang. Salah sedikit, kepala ditempeleng. Tak lama, Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dua hari kemudian, tepatnya 19 Agustus, Kusni bergabung dengan laskar yang tergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Rampal, Malang.
Kusni bersama pasukan laskar itu bergerilya hingga Surabaya menghadapi pasukan Sekutu dan Inggris. Setelah pasukan Inggris mundur, rakyat membuat kelompok-kelompok sendiri. Kusni memutuskan pergi ke Yogyakarta untuk bergabung dengan laskar Barisan Bambu Runcing. Laskar ini rencananya akan merebut Kota Bandung.
Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu, karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang."
Namun, ketika sampai Madiun, Kusni justru bergabung dengan laskar Brigade Teratai. Anggota laskar itu, selain dari TNI, kebanyakan berasal dari kalangan dunia hitam, seperti copet, rampok, germo, dan wanita panggilan. Di sana Kusni ditugaskan sebagai staf pertempuran ekonomi. Banyak bergaul dengan pelacur dan berandalan kecil yang menjadi mata-mata.
Tugasnya pernah mengambil emas dan berlian milik warga keturunan Tionghoa yang akan digunakan untuk modal perang. Kusni merasa bangga atas apa yang ia lakukan. Saat berada di Yogyakarta, 19 Desember 1948, Kusni menemukan meriam tentara Belanda. Ia dan warga mendorong meriam itu sejauh 20 kilometer untuk diserahkan kepada segerombolan prajurit untuk modal melawan Belanda.
Semua usahanya selama empat tahun ikut berjuang membuatnya bangga. Apalagi ia sering menyumbang harta hasil rampasan dalam operasinya untuk kepentingan perjuangan. Beberapa kali ditangkap pasukan Belanda, dipukuli, dan dijebloskan ke penjara. Kusni dikenal seperti belut yang licin dan dijuluki ‘Kancil’ karena selalu berhasil meloloskan diri.
Tapi hatinya kecewa berat ketika dirinya dan laskar Brigade Teratai tak masuk daftar sebagai pasukan TNI. Kusni sempat mengaku sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Tapi tetap saja ditolak masuk jadi anggota TNI. Ia gagal masuk TNI karena cacat akibat luka tembak di kaki kirinya. Akhirnya ia memutuskan kembali ke Rampal, Malang.
Selama satu tahun di Rampal, ia mengurus surat pernyataan bekas pejuang. Di tempat itu juga, ia mengumpulkan uang. Uang itu dibagikan kepada keluarganya di Blitar. Sisanya digunakan Kusni untuk biaya berangkat menuju kantor Biro Rekonstruksi Nasional di Jakarta. Biro itu tempat mengurus penempatan bekas pejuang. Kembali Kusni kecewa, ia tak mendapat pekerjaan.
Hatinya semakin bergemuruh. Empat tahun ikut berjuang demi Tanah Air, tapi dalam sekejap menjadi orang susah. Kusni kembali ke Surabaya. Ia bertemu dengan beberapa rekan bekas pejuang, salah satunya Subagyo. Temannya itu mengajak Kusni memeras dengan modus penculikan saudagar kaya. Mereka berhasil mendapat uang Rp 600 ribu. Jumlah yang tak kecil pada zaman itu.
Uang hasil memeras dibagikan Kusni secara merata kepada sesama pejuang. Itulah aksi kejahatan pertamanya. Setelah itu, ia selalu menggunakan nama Kasdut dalam aksi kejahatan selanjutnya. Dikutip dari buku ‘Para Jagoan: Dari Ken Arok sampai Kusni Kasdut’ karya Petrik Matanasi (2011), Kusni dijuluki ‘Robin Hood’. Hasil rampokannya sering dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Seperti yang dilakukan jagoan Betawi, Pitung, menjelang pergantian abad ke-19 ke 20.
Aksi brutal lainnya, Kusni bersama komplotan Bir Ali (Muhammad Ali) asal Cikini Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, merampok warga keturunan Arab kaya bernama Ali Badjened pada 1960. Ali Badjened dirampok sore hari ketika keluar dari rumahnya di kawasan Awab Alhajiri atau Jalan KH Wahid Hasyim, Kebon Sirih. Badjened tewas bersimbah darah diberondong peluru yang ditembakkan dari dalam mobil jip yang dikendarai Kusni.
“Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang,” ungkap sejarawan Betawi, Alwi Shabab, dalam tulisannya berjudul ‘Kebon Sirih dan Kusni Kasdut’ (2008).
Aksi nekat komplotan Kusni Kasdut lainnya adalah merampok perhiasan koleksi Museum Nasional Jakarta atau Museum Gajah di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ia dan kawanannya berhasil menggondol perhiasan emas dan 11 berlian senilai Rp 2,5 miliar pada 30 Mei 1963.
Kusni bersama Herman, Budi, dan Sumali merampok dengan mengenakan seragam polisi. Mereka semua menenteng senjata laras panjang jenis Vicker buatan Jerman dan Jepang. Mereka mudah masuk ke dalam museum karena penjaga menyangka mereka adalah polisi yang tengah melakukan inspeksi.
Herman dan Sumali mengelabui petugas jaga dengan segudang pertanyaan. Sementara itu, Kusni naik ke lantai atas tempat koleksi benda-benda pusaka disimpan. Kusni bergerak cepat. Berbekal sebuah obeng besar, ia membobol lemari pajangan perhiasan kuno. Setidaknya, ada 11 perhiasan berlian yang diambilnya.
Kusni langsung kabur. Dua penjaga curiga dan berteriak. Tapi nahas, keduanya langsung ambruk ditusuk pisau belati milik Herman dan Sumali. Komplotan itu kabur dengan mobil jip. Di tengah jalan, mereka berpencar dan berkumpul kembali di sebuah rumah di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Kusni berusaha menjual barang hasil curiannya secara bertahap di Surabaya. Sebagian berlian dijual dengan harga Rp 3,250 juta melalui perantara. Sang perantara mendapatkan bagian Rp 250 ribu. Kusni mendapat bagian Rp 1 juta. Sisanya Rp 2 juta dikirim kepada Herman dan Sumali di Jakarta.
Namun, ketika akan menjual sisa hasil curiannya, Kusni mengalami masalah. Perantara yang biasa membantunya ternyata sudah ditongkrongi polisi. Rupanya polisi sudah mengendus jejaknya karena Herman, Budi, dan Sumali sudah tertangkap lebih dulu. Kusni diringkus polisi. Namun, ketika hendak dibawa ke kantor polisi setempat, Kusni kabur menumpang mobil pikap.
Polisi berhamburan mengejarnya. Saat hendak turun dari pikap, kaki Kusni ditembak. Ia jatuh dan terguling hingga pingsan. Ia akhirnya divonis hukuman mati oleh pihak pengadilan pada 1964. Selama menunggu eksekusi, Kusni dipenjara Lapas Lowokwaru, Malang. Kusni tercatat beberapa kali pindah penjara, termasuk Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Ia juga tercatat sudah delapan kali kabur dari penjara.
Terakhir ia melarikan diri pada 10 September 1979 sekitar pukul 03.00 WIB. Sebenarnya saat itu Kusni sudah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto. Saat itu Kepala Polri Letjen Awaluddin Amin memerintahkan semua polisi di Jawa mencari Kusni Kasdut. Satu bulan kemudian, 17 Oktober 1979, Kusni ditangkap di tempat persembunyiannya di Surabaya. Ia sempat menerjang polisi. Di tempat itu ditemukan senjata Vicker dengan 50 butir peluru.
Kusni lalu dijebloskan ke Lapas Kalisosok, Surabaya. Saat berada di sel penjara, Kusni menerima kabar penolakan grasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 32/G Tahun 1979 yang ditandatangani Soeharto. Menjelang eksekusi mati, Kusni pasrah dan bertobat. Kusni dibaptis menjadi seorang Katolik dengan nama Ignatius Kusni Kasdut.
Di hari-hari senggangnya, Kusni melukis Gereja Katedral Jakarta. Menariknya, ia melukis dengan gedebog pisang empat bulan setelah pelariannya yang terakhir. Kusni harus menghadapi regu tembak pada 16 Februari 1980. Kini lukisannya itu dipajang di sudut lantai dua Museum Katedral Jakarta.